[Pertama kali di-posting pada 7 Desember 2013 di LiveJournal, Blogspot dan notes Facebook. Dipindahkan kemari pada 4 Juni 2015.]
—————–
Pixar. Siapa yang tidak kenal production house itu? Pecinta film barat, khususnya film animasi, pasti tahu. Pixar adalah PH film animasi tersukses di dunia, dengan film-film yang selalu sukses baik dalam penjualan tiket maupun di mata kritikus film.
Saya pecinta film-film Pixar. Sekitar 2 atau 1,5 tahun yang lalu malah sempat berpikir, “Coba aku masuk jurusan multimedia, jadi aku bisa bikin film animasi dan berkesempatan kerja di Pixar”. Tapi saya tahu betul bahwa saya nggak punya bakat sama sekali dalam hal begituan, jadi dengan senang hati saya kembali merangkul takdir kuliah di jurusan Ilmu Perpustakaan.
Pixar rajin merilis film, setiap tahun satu film. Tahun ini, film yang mereka rilis adalah Monsters University, yang merupakan prekuel dari film Monsters Inc. (2001).
Satu hal yang menarik dari film Monsters University, yang langsung menjadi perhatian besar saya saat menontonnya, adalah perpustakaannya.
Entah karena animasi Pixar yang memang menawan, atau stereotype perpustakaan di perguruan tinggi luar negeri yang memang sudah bagus, perpustakaan Monsters University membuat saya berdecak kagum saat menontonnya. Besar–sangat besar, dengan rak-rak tinggi menjulang, dari bawah sampai atas penuh buku. Warna dominannya cokelat kayu, terlihat mengilap seolah tiap hari dipelitur–bahkan lantainya! Desainnya mengingatkan pada bangunan renasains kuno yang pernah saya lihat di film lain, mungkin cuma kurang patung dan kaca patri saja. Terdiri dari beberapa tingkat (seingat saya dua), dengan balkon-balkon samping pada lantai atasnya sehingga yang di atas bisa melongok ke bawah, juga atap melengkung yang menyaring cahaya matahari, serta deretan meja-kursi baca panjang yang rapi. Meja sirkulasinya berbentuk lingkaran, terletak di ujung ruangan dengan komposisi yang pas. I can say that it’s a cozy library; a perfect place to study. I wanna go there myself, indeed.
Tetapi.
Pustakawannya, ya ampun.
Pustakawan perpustakaan Monsters University itu digambarkan sebagai monster raksasa (jangan heran; seluruh makhluk di universe film animasi tersebut memang monster) berkepala siput berkaki gurita dengan delapan tentakel. Dia perempuan tua, berkacamata, rambutnya putih disanggul, pakaiannya gaun hitam kelabu zadul, dan–yang paling menarik–dia galak serta gila keheningan.
… does that description remind you of something? XD
Si Pustakawan ini benar-benar protektif–kalau tidak mau dibilang posesif–terhadap perpustakaannya. Dia “melibas” (literally, dengan tentakel guritanya!) siapa pun mahasiswa MU yang bikin ribut. Kegiatan favoritnya, selain membaca, adalah menempelkan telunjuk di bibir untuk men-ssst mahasiswa. Itulah kenapa dalam film ini dia menjadi semacam “antagonis” ketika Mike, Sulley dan para anggota Oozma Kappa lainnya berusaha memenangi tantangan kedua di Scare Games. Nggak tanggung-tanggung, tantangan itu “ngece” banget: para kontestan harus berjalan tanpa suara di perpustakaan untuk mengambil bendera tanpa mengganggu aktivitas si Pustakawan Galak itu!
Well, meskipun “ngece”, saya ketawa nonton scene itu. Konyol, memang. Tentu saja sengaja dikemas seperti itu.
Tapi sekarang, saat dipikir lagi …. Wah, memangnya imej pustakawan di luar negeri juga masih seperti itu, ya? Dianggap menakutkan. Makhluk yang tidak boleh diganggu dan harus dihindari.
Itu secara sosial. Nah, secara fisik? Rupanya orang luar masih menganggap pustakawan itu tua, zadul, berkacamata, galak, dan … monster?
😦
Saya miris karena imej seperti itu disematkan dalam film animasi Pixar, yang notabene ditonton anak kecil di seluruh dunia. Film bisa memberi pengaruh sangat besar dalam tumbuh kembang anak, ya kan? Bagaimana kalau semua anak yang menonton Monsters University jadi mempunyai mindset bahwa pustakawan memang seperti itu? Bisa-bisa nggak ada yang mau ke perpustakaan–lebih tepatnya, bisa-bisa nggak ada yang mau mendekati pustakawan.
Sayangnya, Monsters University bukan satu-satunya film animasi Pixar yang agak menyakiti hati orang-orang bidang perpustakaan. Film Up (2009), salah satu film animasi yang paling saya puja sepanjang masa, punya kelemahan fatal dalam hal itu, ketika Ellie kecil menyatakan dirinya merobek gambar Paradise Falls dari buku perpustakaan untuk ditempelkan dalam buku mimpinya. Waktu menonton adegan itu, saya memutar mata dan sakit hati. “Kok film ini ngajarin vandalisme bahan pustaka? T_T” begitu pikir saya.
Tapi untungnya, Pixar mengangkat perpustakaan dengan cukup menarik dalam Toy Story 3 (2010). Di situ diceritakan bahwa Lotso dkk punya perpustakaan khusus–ya, perpustakaan khusus–manual mainan yang isinya kumpulan booklet manual instruksi cara merakit seluruh mainan. Sayangnya–lagi-lagi–koleksi perpustakaan itu disalahgunakan, karena malah dipakai untuk me-reset Buzz menjadi jahat.
***
Pixar adalah PH yang hebat, tentu saja. Masih. Meskipun mereka–entah sadar atau tidak–menyakiti hati orang-orang perpustakaan. Saya sendiri masih, dan akan selalu, menyukai film-film mereka, sampai kapan pun.
Namun, sedikit ulasan saya di atas menunjukkan bahwa imej perpustakaan dan pustakawan dalam produk budaya populer masih kurang baik. Film animasi Pixar hanya satu dari beberapa bukti tersebut. Saya hanya berharap, semoga di luar sana masih lebih banyak PH atau apa pun yang menunjukkan sisi positif perpustakaan dan pustakawan.
… dan semoga kelak saya bisa menjadi salah satunya juga, dengan menulis novel tentang perpustakaan yang membuat orang tidak takut ke perpustakaan–sebaliknya, bisa membuat mereka semakin ingin ke sana. Aamiiin.
——-
Referensi
Film Monsters University (2013)
Film Up (2009)
Film Toy Story 3 (2010)
Wikipedia