Pendekatan Personal pada Pemustaka

Saya bukan tipe orang yang bisa langsung luwes SKSD sama orang baru dikenal. Namun, sekalinya saya berteman akrab, pertemanan itu mendalam dan personal. Saya belajar mengenal orang-orang yang dekat dengan saya secara mendalam, memandang mereka sebagai seorang pribadi sebagaimana adanya.

Hal itulah yang–otomatis tanpa sadar–saya terapkan juga di perpustakaan tempat saya bekerja sekarang. Alhamdulillah, sejak perpustakaan ini ada “penunggu”-nya, jumlah pengunjung dan peminjam meningkat. Dan saya belajar untuk membangun hubungan personal dengan para pemustaka tersebut. Saya berusaha mengetahui buku-buku apa yang mereka suka dan inginkan, juga menampung wishlist atau request mereka. Saya berupaya untuk mengenal selera pemustaka satu per satu, membelikan buku yang mereka butuhkan jika memungkinkan, mengobrol dan mendengarkan. Menganggap pemustaka sebagai teman, bukan sekadar pengunjung perpustakaan yang numpang lewat.

Karena saya ingin bisa menjadikan perpustakaan, dengan saya sebagai tuan rumahnya, sebagai tempat bercerita. Apalagi perpustakaan saya ini perpustakaan khusus–lingkupnya kecil, sehingga sayang sekali kalau tidak ada sentuhan personal dalam hubungan pustakawan dan pemustaka.

Dalam buku Panduan Mengatasi Stres bagi Remaja karya Nicola Morgan yang sedang saya baca, saya menemukan sesuatu yang menarik pada bagian yang membahas tentang bullying. Di situ dituliskan bahwa remaja korban bullying harus mencari orang dewasa dan menceritakan situasinya.

… Ceritamu akan dirahasiakan dan sekolah harus menemukan cara untuk melindungi dirimu. Mungkin kamu bisa berbicara dengan guru pembimbing, wali kelas, atau petugas perpustakaan sekolah. (hlm. 139-140)

Membaca itu membuat saya merasa wow sekali. Tentu Anda semua tahu bahwa masih banyak stereotype jelek tentang pustakawan, khususnya di perpustakaan sekolah. Bayangkan betapa menyenangkannya kalau pustakawan perpustakaan sekolah bisa menjadi tempat curhat bagi para siswanya–siapa yang tahu kalau dengan itu, akan ada nyawa atau kehidupan yang bisa diselamatkan? (You know? Hal ini memberi saya ide cerita. Hehehe.)

Sebetulnya, saya pernah menemukan pustakawan yang seperti itu. Bukan di sekolah, sih, melainkan di Perpustakaan Umum Daerah. Ibu ini bekerja di bagian Layanan Anak. Dia menjadi tempat curhat bagi banyak ibu-ibu yang menunggui anaknya melakukan kegiatan yang diselenggarakan di layanan anak itu. Tidak tanggung-tanggung: curhatnya sampai masalah superpribadi seperti kehidupan rumah tangga yang berada di ambang perceraian.

Menurut saya, hal itu luar biasa. Pustakawan yang bisa menjelma menjadi sosok yang dipercaya pemustakanya untuk mendengarkan urusan sepribadi itu … bagaimana tidak hebat?

Banyak orang bilang, pustakawan harus memiliki kemampuan public speaking. Well, mungkin iya. Tapi, buat saya kemampuan mendengarkan tidak kalah penting. Juga kemampuan untuk bisa berempati terhadap pemustaka. Kemampuan untuk mengesampingkan ego agar mau berteman dengan pemustaka.

Siapa tahu kan, dari hal-hal seperti ini, pustakawan dan pemustaka berjodoh? :p

(Terus jadi kepikiran ide cerita baru lagi deh. Ehehehehehe.)

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: