Mayat dalam Perpustakaan

Judulnya seram? Nggak juga. Itu adalah terjemahan judul novel Dame Agatha Christie, The Body in the Library yang terbit tahun 1942. Novel ini menyertakan salah satu detektif Mrs. Christie, yaitu Miss Marple.

body in library

Sudah lama saya tertarik membaca novel ini, tetapi selalu menunda karena kebetulan saya tidak suka Miss Marple (sukanya detektif Agatha Christie yang satu lagi, Hercule Poirot). Namun, karena semua novel Poirot sudah saya babat habis dan saya semakin tertarik untuk membedah citra perpustakaan/pustakawan dalam berbagai novel, akhirnya saya baca juga novel ini.

Kata pengantar dari Dame Christie yang ada di halaman paling depan membuat saya terhenyak.

Di dalam dunia fiksi ada ciri-ciri tertentu yang diasosiasikan dengan tipe-tipe cerita tertentu (di Inggris). Untuk cerita-cerita melodrama, sering ditokohkan seorang bangsawan bersifat pemberani dan jahat. Untuk cerita-cerita detektif, plot yang umum adalah mayat yang ditemukan di dalam perpustakaan. Selama beberapa tahun lamanya saya selalu berharap dapat membuat suatu variasi sesuai dengan tema-tema cerita yang terkenal ini. Untuk itu saya membuat beberapa ketentuan bagi diri saya sendiri. Perpustakaan yang diceritakan haruslah suatu ruangan yang amat kuno dan konvensional. Di pihak lain, si mayat haruslah mayat yang mencolok, sensasional, dan berlawanan dengan sifat-sifat perpustakaan itu.

Seketika, usai membaca, tanda tanya besar muncul di benak saya: Jadi trennya seperti itu, ya? Perpustakaan itu tempat mayat?

Mari kita simak deskripsi perpustakaan dan mayat dalam novel ini (halaman 22-23):

Perpustakaan itu memantulkan ciri khas pemiliknya. Ruangannya luas, dalam keadaan yang mengibakan dan tidak rapi. Ada kursi-kursi besar yang sudah kendur tempat duduknya, ada pipa-pipa rokok, buku-buku, dan dokumen-dokumen hak milik tanah yang berserakan di atas meja yang besar. Ada satu atau dua buah lukisan keluarga yang baik tergantung di dinding, dan beberapa buah lukisan cat air gaya Victoria yang jelek, ada pula beberapa lukisan adegan perburuan yang konyol. Di pojok ruangan ada sebuah jambangan besar berisikan bunga-bunga aster. Seluruh kamar itu redup, lembut, dan sederhana. Kamar ini memberikan kesan sudah lama dan terlalu sering dipakai. Juga kamar ini masih erat kaitannya dengan tradisi lama.

Di tengah-tengah permadani dari kulit beruang di depan perapian, tergolek menyilang sesuatu yang baru, norak, dan melodramatis.

Mayat seorang gadis yang mencolok. Seorang gadis dengan rambut yang luar biasa pirangnya, yang disisir terangkat dari wajahnya dengan ikal-ikal dan uliran-uliran yang mewah. Tubuhnya kurus, mengenakan gaun malam dari bahan sutra putih dengan potongan punggung terbuka. Wajahnya memakai tata rias yang tebal. Bedaknya kelihatan mencolok sekali di atas permukaan kulitnya yang membengkak dan berwarna kebiru-biruan, maskaranya membekas dengan tebalnya pada pipinya yang telah berubah bentuk, sedangkan kemerahan bibirnya tampak seperti luka menganga. Kuku-kuku jari tangannya diwarnai cat merah darah, begitu pula kuku-kuku jari kakinya yang mengenakan sepasang sandal murahan berwarna perak. Betul-betul sesosok mayat yang tampak murahan, norak, dan mencolok–amat tidak sesuai dengan keadaan perpustakaan Kolonel Bantry yang nyaman, kuno, dan kokoh.

Perlu diketahui, perpustakaan tempat mayat ini berada adalah perpustakaan pribadi milik seorang veteran tentara, bukan perpustakaan umum. Jadi saya nggak akan banyak cerewet soal kekunoan yang dicitrakan dalam perpustakaan ini, mengingat karakter pemiliknya.

Ketika menamatkan novelnya, ternyata judul Mayat dalam Perpustakaan memang hanya menggambarkan keadaan bahwa mayat itu ditemukan di dalam perpustakaan, karena selebihnya tidak ada sangkut-paut ke arah sana lagi. Perpustakaan di sini bukan TKP; pembunuhannya dilakukan di tempat lain oleh orang yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan perpustakaan. Kebetulan saja pada akhirnya mayat itu berakhir di perpustakaan.

Namun kembali lagi: Harus banget ya perpustakaan menjadi tempat (pembuangan) mayat setelah dibunuh?

Saya tidak hidup di zaman Inggris tahun 40-an jadi sulit bagi saya untuk meng-crosscheck ke novel-novel detektif lain. Tapi karena Dame Christie sendiri yang bilang bahwa trennya memang begitu, masa saya nggak percaya?

Hal ini sangat menohok, bikin speechless. Saya kira citra perpustakaan di berbagai karya fiksi sebagai tempat kuno, sepi, membosankan dan angker sudah cukup buruk. Lha ini? Rujukannya jelas pula. Bukan buruk lagi namanya.

Pertanyaannya adalah kenapa mayat-mayat itu ditemukannya harus di perpustakaan? Apa salah perpustakaan sehingga menjadi tempat pembuangan mayat setelah dibunuh? Apa karena perpustakaan tidak banyak dikunjungi orang makanya si pembunuh menganggap mayat itu tidak akan atau bakal lama ditemukan, jadi dia bisa kabur atau cuci tangan? Atau karena perpustakaan itu creepy dan cocok dengan nuansa kematian?

Well, tapi saya ingin menghibur diri bahwa ini adalah tren tahun 40-an. Sekarang perpustakaan–baik umum maupun pribadi–sudah modern, sudah bagus, sudah asyik dan canggih, sudah keren. Seharusnya nggak ada lagi tersemat kata kuno, sepi, membosankan dan angker. Seharusnya sudah nggak ada lagi pembunuh yang menjadikan perpustakaan sebagai tempat pembuangan mayat. Seharusnya nggak ada lagi cerita tentang mayat yang ditemukan di perpustakaan.

… seharusnya.

Anyway, mungkin akan lain halnya kalau perpustakaan menjadi TKP pembunuhan, bukan sekadar tempat pembuangan mayat. Mungkin saya nggak akan bawel atau kecewa (tergantung pengemasan ceritanya juga sih), sebaliknya justru tertarik. Bukannya saya mendukung ada pembunuhan di perpustakaan ya–tentu saya tidak ingin ada pembunuhan di mana pun juga dalam bentuk apa pun. Tapi untuk sebuah cerita detektif, rasanya menarik sekali kalau perpustakaan diangkat sebagai TKP pembunuhan–dengan trik-trik ala pembunuh licik yang dengan cerdiknya memanfaatkan fasilitas/ruangan perpustakaan untuk membunuh, atau korban yang meninggalkan dying message dengan memanfaatkan nomor klasifikasi DDC atau library-thingy lainnya. Kayaknya itu bakal seru sekali; malah bisa menarik orang untuk jadi tahu hal-hal tentang perpustakaan, kan? Seperti pada kisah petualangan mencari jalan keluar dalam novel Escape from Mr. Lemoncello’s Library-nya Mr. Chris Grabenstein, yang banyak sekali memanfaatkan library-thingy dengan cerdasnya sehingga orang-orang yang membacanya jadi tahu ini-itu tentang perpustakaan.

Ada nggak ya novel detektif seperti itu?

*lalu muncul suara entah dari mana: “Kalau belum ada ya bikin dong!”*

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: