Hai, hai blog yang ini. Maafkan sudah lama tidak menulis. Setelah tidak menjadi pustakawan dan dilanda kesibukan luar biasa di pekerjaan baru, daftar rencana postingan blog di sini hanya tinggal menjadi daftar. Blog personal pun baru kepegang lagi dua minggu lalu setelah sekian lama vakum.
Kali ini, saya mau berbagi cerita tentang novel yang alhamdulillah akan segera terbit, berjudul A Place You Belong.
Seperti yang pernah saya tulis di sini, menulis novel bertema perpustakaan adalah salah satu cita-cita terbesar saya sejak dulu. Cerita novel ini saya ambil dari gabungan pengalaman saya, teman-teman saya, juga tentunya imajinasi. Sengaja saya memilih sesuatu yang dekat dengan kehidupan sehari-hari agar pembaca merasa relatable. Dan tanpa saya sendiri pernah menduga, di novel ini saya juga mengangkat tentang dunia mendongeng karena tanpa sengaja saya menemukan buku Memilih, Menyusun, dan Menyajikan Cerita untuk Anak Usia Dini karya Mbak Itadz. Tokoh Akhyar yang seorang pendongeng berlatar belakang pendidikan perpustakaan itu terinspirasi dari Bang Ariyo Zidni yang saya kagumi.
Tak lama sebelum menulis novel ini saya selesai membaca The Language of Flowers karya Vanessa Diffenbaugh. Membaca itu merupakan perjuangan tersendiri, tapi saya suka sekali konsep part 1 novel itu yang menggunakan dua garis waktu: masa kini Victoria serta masa lalunya bersama Elizabeth. Awalnya saya bingung karena nggak ada tulisan apa pun yang menjelaskan bahwa babnya selang-seling antara past and present. Lama kelamaan, saya terbiasa. Malah kagum sama timeline yang sinkron–apalagi sejak dulu saya penggemar cerita yang ditulis secara nonlinear. Karena itulah saya terinspirasi ingin menulis yang seperti itu juga. Enaknya, menulis kayak gitu nggak bikin bosan. Tantangannya besar untuk soal sinkronisasi itu. Dan konstruksi cerita bisa dibangun hanya dengan satu scene saja untuk setiap bab, jadi nggak perlu mikir untuk bintang tiga (***).
Anyway, saya mau bercerita sedikit tentang kisah di balik penulisan A Place You Belong (APYB) ini. Kesan terdalam saya tentang novel ini bukan hanya karena ini novel perdana setelah berbelas tahun mencoba, melainkan juga karena melalui novel inilah Tuhan menunjukkan betapa Dia punya rencana terbaik untuk segalanya. :’)
Semua bermula dari Lomba Menulis #WayBackHome. Entah gimana ceritanya, bulan Agustus 2015 saya menemukan lomba itu. Saya girang banget membaca tema lombanya. Kebetulan saya sedang menulis bab 1 dari cikal bakal APYB (yang beda jauh sama hasil akhirnya ini). Waktu itu saya masih menjadi pustakawan kesepian di tempat kerja lama, punya banyak waktu sendirian plus kedinginan di ruang perpustakaan. Maka saya mulai berusaha menulis untuk merintis impian saya tentang novel bertema perpustakaan.
Tapi saya memang bukan tipe orang yang bisa nulis disambi. Saya ini kalau nulis harus konsentrasi penuh. Pergi pagi pulang malam bukan teman yang cocok. Jadilah demi bisa menyelesaikan novel itu–ditambah satu dan banyak hal–saya memutuskan untuk resign dari kantor.
Bulan September, akhirnya saya mendapatkan waktu penuh yang saya dambakan. Sayang, kenyataannya saya juga terdistraksi oleh hal-hal lain karena waktu itu banyak sekali yang harus saya urus. Untuk menyiasati itu saya membuat timeline; tenggat waktu untuk semua hal yang mesti saya kerjakan. Termasuk untuk menyelesaikan APYB yang deadline-nya tanggal 1 Oktober.
Meski demikian, saya terjebak dengan ketidakdisiplinan diri sendiri. Hal itu diperparah dengan insecurity untuk mencari pekerjaan baru karena kondisi keuangan yang semakin memprihatinkan. Minggu ketiga bulan September, semangat menulis saya agak menurun karena sedang masuk ke bab yang butuh effort tinggi. Apalagi waktu itu saya baru pulang dari luar kota. Dan saya baru saja lolos seleksi administrasi untuk lanjut wawancara di sebuah tempat kerja. Gajinya lebih besar daripada kantor yang dulu, jadi sejujurnya saya sangat berharap bisa diterima di sana. Fokus saya pun terpecah; saya mempersiapkan diri untuk wawancara di tempat tersebut.
Dua hari setelah wawancara, pengumuman dipajang di website. Nama saya ada di sana ……
…… sebagai cadangan.
Saya patah hati berat.
Susah payah saya kumpulkan sisa-sisa energi dan optimisme. Saya buka lagi APYB yang masih separo jalan di laptop, lalu meyakinkan diri: “Mungkin Allah nyuruh aku untuk nyelesain novel ini.” Waktu itu–berdasarkan outline awal–APYB masih menyisakan 14 bab, sementara sisa waktu tinggal sepuluh hari. Benar-benar mepet. Segeralah saya buang segala pikiran negatif, rasa jenuh, dan lelah, lalu saya curahkan seluruh hati dan tenaga untuk menyelesaikan novel itu. Saya langgar outline, banting setir ke sana-sini. Pokoknya target saya cuma satu: selesai. Selesai aja dulu, lalu kirim. Urusan lain-lain bisa belakangan; toh kalaupun terbit bisa direvisi. Yang penting kirim aja dulu.
Seorang teman pernah mengatakan pada saya: “Jika di dunia ini ada keajaiban, itu adalah saat-saat menjelang deadline.” Betapa benarnya perkataan itu. Hari Kamis tanggal 1 Oktober pukul setengah tiga pagi, APYB rampung. Saya terengah usai menuliskan tanggal (sebagai pengganti kata “Tamat”), lalu langsung tepar.
Siangnya (pukul 11-an), meski kepala masih pusing, saya buka lagi naskah itu. Secara teori, naskah yang baru selesai ditulis harusnya diendapkan beberapa hari, baru kemudian dibuka lagi untuk self-editing. Tapi saya nggak punya beberapa hari. Jadi saya baca lagi naskah itu dari awal, memperbaiki ini dan itu, kemudian mengirimnya ke e-mail JOPH. Alhamdulillah lomba ini menerima naskah via e-mail; kalau lewat pos sih APYB nggak akan terbit. ^^
Jujur, saya sangat tidak puas dengan APYB versi pertama itu (ngomong-ngomong, judulnya Way to Heart’s Call). Setelah mengirim dan mendapat e-mail balasan bahwa naskah telah diterima pun saya masih sering merutuki diri, “Kenapa nulis adegan itu begitu? Harusnya nggak perlu ada adegan itu!” Dsb dsb. Saya senang bisa mewujudkan mimpi untuk menulis novel bertema perpustakaan, tapi saya kecewa pada diri sendiri karena tidak mengeksekusinya sebaik yang saya inginkan. Maka saya pun hanya bisa berdoa pada Tuhan agar ada kesempatan untuk memperbaiki novel itu, entah menang atau tidak, entah terbit atau harus mengirim ke penerbit lain.
Agar nggak terus kepikiran soal novel yang belum sempurna itu, saya pun mencari-cari kerja lagi. Kebetulan saya menemukan lowongan pustakawan di Taman Mini, dengan syarat membawa lamaran dan CV langsung ke sana. Hari Senin pagi tanggal 5 Oktober saya berkendara ke TMII. Setibanya di sana saya disambut dengan suara gending yang menenteramkan. Sembari menunggu perpustakaan buka saya berpikir, “Kayaknya enak nih kerja di sini. Walaupun di Jakarta, terasa jauh dari peradaban, nggak stres karena lalu lintas kota besar kayak di kantor yang dulu.” Saya udah senang aja tuh membayangkan bakal bekerja di sana.
Pukul sepuluh, saya masuk ke perpustakaan. Saya jelaskan bahwa saya melihat lowongan pekerjaan dan hendak melamar. Namun, tak disangka, orang yang akan mewawancara sedang cuti. Baru akan masuk besok. Saya pun diminta datang lagi keesokan hari.
Sambil berjalan ke parkiran, terlintas suatu pemikiran di benak saya, “Apa aku nggak jodoh ya sama TMII?”
Ya sudah, saya kembali mengurut dada. Saya pulang dengan was-was, dan semakin was-was saja ketika mampir ke minimarket untuk mengambil uang di ATM. Sudah bulan Oktober dan saya belum mendapat job baru… padahal saya sudah bertekad, awal Oktober saya sudah harus bekerja lagi. Gaji terakhir saya bulan Agustus di kantor lama sudah habis untuk mengurus-ngurus berbagai hal selama bulan September. Bagaimana saya bisa bertahan…?
Keluar dari minimarket, saya mengecek HP. Ada panggilan tak terjawab dari nomor berkode area 021–yang berarti bukan ponsel. Jantung saya berdebar. Saya menelepon balik. Laki-laki yang mengangkat telepon memberi tahu saya bahwa itu adalah nomor kantor tempat saya pernah dinyatakan menjadi cadangan. Saya mulai berharap, tapi orang itu bilang mereka tidak merasa menghubungi saya. Dahi saya berkerut. Saya tidak bilang bahwa saya pernah diwawancara di situ. Akhirnya telepon ditutup, lalu saya pulang.
Setibanya di rumah, HP saya berdering lagi. Dari nomor yang tadi. Kali ini suara perempuan. Saya diminta untuk datang besok ke kantor mereka. Rupanya peserta yang dulu lulus mengundurkan diri, jadi–setelah dua minggu berselang–saya sebagai cadanganlah yang dipanggil untuk menggantikan.
… maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kaudustakan?
Singkat cerita, akhirnya saya bekerja di sana, di tempat yang saya damba.
Hari-hari terus berjalan. Tempat kerja baru menyita waktu dengan segala kesibukannya. Saya masih berharap-harap cemas menunggu pengumuman lomba, tapi syukurlah distraksi kesibukan itu sangat membantu. Tanggal 15 November, saat saya menghadiri pernikahan seorang rekanan kantor, tepatnya saat kami berkerumun di depan pelaminan untuk bouquet throwing session, HP saya berdenting. Notifikasi e-mail. Dari JOPH.
Saya tak peduli pada bunganya. 😀
Begitu luar biasanya Tuhan mengatur jalan hidup hamba-Nya. Saya tak pernah menduga pada akhirnya saya akan mendapatkan kedua-duanya; baik job maupun novel–meski jalannya harus berputar dulu. Entah apa jadinya kalau saya langsung diterima di kantor itu… saya pasti nggak akan menyelesaikan APYB karena terlanjur sibuk. Dan entah apa pula jadinya jika setelah dinyatakan menjadi cadangan itu saya putus asa dan jadi malas lanjut menulis… APYB tak akan pernah ada, dan dunia perpustakaan Indonesia harus menunggu lebih lama lagi sampai ada orang yang menulis fiksi tentangnya. :”)
Saya tahu APYB yang terbit sekarang pun masih jauh dari sempurna, tapi saya mensyukuri segala hal tentangnya mulai dari awal tercipta hingga detik ini ketika pre-order sudah dibuka. Semoga ke depannya saya bisa melahirkan lebih banyak karya lagi yang bermanfaat, terutama bagi dunia perpustakaan Indonesia.
Monggo yang mau pre-order!