Tulisan ini saya tulis hampir setahun lalu, tepatnya 7 September 2015 (jadi, jangan heran kalau kontennya agak ketinggalan zaman). Waktu itu niat saya menulis ini adalah untuk dikirimkan ke sebuah platform menulis online yang suka memuat esai dan opini. Sayangnya, tulisan ini tidak diterima. Saya sih curiganya owner platform menulis itu kurang setuju dengan tulisan ini; mungkin beliau pecinta sastra klasik. Barusan saya membuka-buka folder di laptop dan menemukan tulisan ini. Daripada menganggur saja di sana tanpa ada yang baca, akhirnya saya publish di sini.
Peringatan: tulisan ini murni opini, tidak bermaksud menyinggung siapa pun.
***
Go Set a Watchman, novel yang—katanya—merupakan sekuel dari novel klasik To Kill a Mockingbird karya Harper Lee, adalah novel paling dinanti-nanti tahun ini. Novel tersebut menjadi novel yang paling banyak di-pre order di Amazon; penjualannya di toko buku nyata pun fenomenal. Reaksi publik begitu luar biasa menyambut novel yang terbitnya berjarak 55 tahun dari pendahulunya itu.
Kehebohan tersebut menular kepada orang-orang yang sejatinya bukan pecinta buku. Mereka segera berlomba-lomba mencari segala informasi tentang Go Set a Watchman, buru-buru membaca To Kill a Mockingbird (bahkan mungkin menonton filmnya juga), lalu memamerkan ke semua orang: “Gue udah baca To Kill a Mockingbird, dong! (Udah nonton filmnya juga!) Keren banget! Nggak sabar deh nunggu terjemahan Go Set a Watchman!”
Tak bisa dimungkiri, saat ini fungsi aktivitas membaca tidak lagi terbatas pada fungsi edukasi maupun rekreasi. Ada fungsi sosial pula di sana. Orang-orang membaca koran agar nyambung ketika diajak ngobrol tentang politik di warung kopi, dan membaca novel—khususnya yang best-seller atau sedang hangat—agar tidak terkesan kuper ketika kawan-kawan sepergaulan membicarakannya. Kita ingat fenomena ini berulang kali terjadi: dulu Harry Potter, lalu Ayat-ayat Cinta, Laskar Pelangi, Twilight, The Hunger Games, dan seterusnya.
Di satu sisi, hal ini sangat bagus untuk meningkatkan—atau setidaknya, menumbuhkan—minat baca masyarakat. Sudah rahasia umum bahwa minat baca orang Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Namun, sebagai pustakawan, saya merasa agak miris melihat para pembaca karbitan itu (maafkan istilah ini). Bukannya saya menghakimi. Saya hanya merasa seseorang tidak seharusnya membaca novel hanya karena “tuntutan sosial”. Reading novels should be a pleasure, shouldn’t it? Pleasure dari hati yang terdalam. Bukan paksaan, apalagi untuk sekadar dipamer-pamerkan. Bagaimana kalau ternyata dia tidak suka novel yang sedang populer itu, lalu akhirnya jadi malas membaca novel/buku lain? Kan malah gawat.
S. R. Ranganathan, seorang pustakawan ternama dari India, mengemukakan teori Five Laws of Library Science pada tahun 1931. Sesuai namanya, teori itu menjabarkan lima sila dasar ilmu perpustakaan. Sila kedua teori itu berbunyi “Every reader his [or her] book” (Setiap pembaca memiliki bukunya masing-masing). Artinya, setiap orang mempunyai kebutuhan dan selera sendiri akan buku. Bacaan seorang mahasiswi Hukum jelas berbeda dengan bacaan mahasiswa Teknik Sipil, kecuali kalau selepas kuliah keduanya menikah dan membuka usaha ternak lele bersama. KUHP dan buku teknik konstruksi jembatan pun sama-sama digantikan oleh buku panduan beternak lele.
Untuk buku fiksi, kasusnya beda lagi. Di sini yang bermain adalah “selera”, atau istilah bulenya reading taste. Semua orang punya seleranya sendiri. Ada yang suka fiksi fantasi, ada yang suka romansa, ada pula yang suka religi. Genre fantasi pun bisa dibagi lagi: high fantasy, distopia, post-apocalypse, dan sebagainya.
Menurut Joyce Saricks dalam bukunya Readers’ Advisory Service in the Public Library (2005), selera bacaan (fiksi) juga bisa ditinjau dari kecepatan alur cerita (pace), karakter, jalan cerita, atmosfer dan nuansa cerita, juga gaya penulisan. Karena itulah, yang namanya selera bacaan bisa sangat beragam. Seseorang tidak perlu memaksakan diri membaca buku yang bukan seleranya hanya karena takut dianggap tidak gaul. Hal ini pernah dijadikan cerita dalam komik Hai Miiko! (lupa volume berapa), ketika Miiko memaksakan diri membaca Horiri—parodi Harry Potter—karena semua temannya membicarakan novel itu dan dia tidak ingin menjadi satu-satunya yang tidak bisa ikut nimbrung dalam obrolan. Pada akhirnya Miiko sadar bahwa Horiri bukan seleranya. Dia mengembalikan novel itu ke perpustakaan dan meminjam novel lain yang lebih bisa dimengerti olehnya, Arsene Lupin.
Saya sendiri juga begitu. Walaupun saya termasuk bookworm tipe omnivora, saya tahu saya kurang bersahabat dengan novel klasik. Saya baru berhasil menamatkan Pride & Prejudice setelah enam bulan lebih, dan menyerah membaca Les Misérables pada halaman seratus sekian. Jadi, meskipun belakangan ini banyak novel klasik yang diterbitkan ulang dengan sampul cantik menarik, saya tahu diri untuk tidak membelinya. Dan tentu saja saya juga tidak akan memaksakan diri membaca Go Set a Watchman, walaupun saya—anehnya—telah berhasil menamatkan To Kill a Mockingbird saat SMA dulu.
Every reader his [or her] book. Tidak perlu malu dengan selera bacaan. Tidak ada yang berhak menghakimi apakah Anda suka novel chicklit picisan yang ringan, roman seks yang bikin kipas-kipas, thriller psikopat yang bikin takut ke WC, humor komedi yang garing, apa pun. Lahap-lahap saja! Sebaliknya, kalau merasa tidak akan suka dengan sebuah novel—meskipun seisi dunia memuja-muji novel itu—ya lewatkan saja. Orang yang membaca buku karena keinginan dari hati itu selalu keren kok, meski buku yang dibacanya bukan best-seller.