Hai, hai blog. Maafkan saya yang menelantarkanmu terlalu lama. Hal ini dan itu terjadi, saya diterima bekerja di tempat yang bukan perpustakaan sehingga saya banyak belajar hal baru. Berbagai ide tulisan tentang perpustakaan yang dulu sempat ingin saya tuliskan di sini pun terpaksa teralihkan sementara.
Lantas kenapa hari ini saya menulis lagi di sini? Karena saya ingin bercerita untuk konsumsi publik, jadi saya mesti mencoba mengolah kisah itu secara pantas.
Jadi… saya ingin mengaku sesuatu: saya resmi selingkuh dari Ilmu Perpustakaan.
Keputusan itu memang pragmatis, tapi itu hasil pemikiran panjang juga. Dan walaupun dikatakan “selingkuh”, bukan berarti apa yang saya pelajari sekarang ke depannya tidak bisa punya andil terhadap ilmu perpustakaan.
Saya akan bercerita dari awal.
Memasuki tahun 2018, saya sudah bertekad tahun ini saya harus memperbaiki kualitas hidup. Sudah dua tahun lebih saya bekerja di tempat yang sama, kehidupan saya rasanya stagnan tanpa ada kemungkinan untuk maju atau naik. Karier saya akan mentok sebagai pegawai kontrak, pergaulan saya tidak akan meluas, kehidupan saya hanya berangkat-pagi-pulang-malam-weekend-tepar saja. Sulit bagi saya untuk mengembangkan diri jika terus di sana. Apalagi suasana kantor sudah berubah menjadi kurang menyenangkan, dan saya hampir gila hidup di ibukota yang keras–sesuatu yang semakin memotivasi saya untuk melompat ke batu berikutnya. Sudah cukup pengalaman di kantor itu menjadi batu loncatan selama ini. Saya sudah belajar banyak sampai nyaris tak ada yang bisa saya pelajari lagi di sana.
Maka saya menargetkan satu hal: saya harus lanjut sekolah.
Demi aktualisasi diri yang lebih tinggi. Demi mengejar mimpi dan cita-cita yang selama ini terpaksa dikesampingkan. Dan tentunya demi harapan akan prospek kehidupan yang lebih baik.
Tuhan memang Mahatahu kapan waktu yang tepat untuk segala sesuatu. Sejak dulu saya ingin melanjutkan sekolah, tapi berbagai hal menahan saya. Pada titik ini, saya sadar bahwa waktunya memang sekarang. Saya sudah nothing to lose untuk apa pun: kantor, rumah, semuanya sudah bisa dilepas. Dan dari dalam diri saya sendiri, kesiapan untuk akhirnya sekolah itu muncul setelah sebelum-sebelumnya saya masih malas berkutat dengan penelitian lagi–barangkali karena terlalu lelah bekerja dan menghadapi masalah-masalah orang dewasa. So it was indeed a perfect timing.
Saya mulai menyiapkan segalanya. Sekarang saya sudah realistis: kuliah di dalam negeri saja. Waktu itu pendaftaran Beasiswa LPDP belum buka, masih tidak jelas kapan bukanya dan bagaimana persyaratannya. Saya juga tidak sempat belajar untuk IELTS sebagai persyaratan ke luar negeri. Jadilah saya mencari-cari kampus dalam negeri. Saya buka seluruh situs pascasarjana semua PTN ternama di Pulau Jawa. Saya lihat-lihat jurusannya, waktu pendaftarannya, dan terutama: biayanya.
Kalau Anda belum tahu, S2 Ilmu Perpustakaan di Indonesia baru ada di lima universitas saja: UI, UIN Sunan Kalijaga, UGM, Unpad, dan IPB. Dilihat dari segala hal, tentu UI yang paling realistis karena dekat, bagus, dan… that’s UI, for God’s sake!! Namun, saat melihat biayanya, saya terpaksa langsung mencoret pilihan itu. Tabungan saya yang sebenarnya buat nikah entah kapan haha nggak sampai segitu. Kalau saya nekat mengeluarkan uang untuk membayar kuliah S2 di UI, saya dan keluarga saya akan kelaparan selama beberapa bulan.
Unpad juga saya coret karena permasalahan yang sama. IPB saya coret karena konsentrasi IPB adalah teknologi informasi perpustakaan, yang mana bukan sesuatu yang menarik minat saya. Mungkin bagus bagi teman-teman yang memang selama ini telah berkecimpung dalam mengembangkan software perpustakaan, tapi buat saya, maaf, big no. Itu bukan bidang saya.
Pada akhirnya saya condong ke UGM. Alasannya, karena S2 Ilmu Perpustakaan di UGM adalah peminatan dari program studi Kajian Budaya dan Media, yang mana lumayan menarik minat saya. Biayanya pun relatif lebih terjangkau. Dan saya cukup familier dengan Yogya, jalanan-jalanannya, dan siapa sih yang nggak mau tinggal di sana?
Maka saya siapkan berkas-berkas yang dibutuhkan sembari menunggu pendaftaran buka. Bulan Maret, saya mengambil tes TPA dan TOEFL. Namun, ketika melihat-lihat program studi lain di Sekolah Pascasarjana UGM, saya semacam tergoda untuk berpaling. Kemudian saya mulai merenung lagi: yakinkah saya ingin mengambil S2 yang linear?
Jawaban yang muncul: tidak.
Banyak alasannya. Pertama, karena saya menginginkan prospek yang lebih luas daripada menjadi dosen. Sekarang menjadi dosen sulit; harus ikut seleksi pegawai tetap universitas atau CPNS yang keduanya tidak dibuka setiap tahun. Selama menunggu, saya mau apa? Susah untuk berkarier di kantor biasa dengan ijazah S2 Ilmu Perpustakaan. Satu-satunya kemungkinan adalah menjadi kepala perpustakaan, barangkali di universitas. Tapi itu pun lowongannya tidak setiap saat ada.
Kedua, saya masih ingin mengabdi di ilmu perpustakaan dalam industri kreatif saja. Saya masih ingin terus menulis novel tentang perpustakaan atau yang menyertakan perpustakaan di dalamnya. Bukannya dengan harus bekerja secara riil di perpustakaan.
Ketiga, sejak dulu saya merasa kalau harus mengambil S2 Ilmu Perpustakaan, lebih baik ke luar negeri sekalian. Di luar negeri ruang lingkup ilmunya lebih luas sehingga lebih banyak aspek menarik perpustakaan yang bisa dipelajari.
Keempat, terkait dengan poin ketiga. Karena pada akhirnya saya kuliah di dalam negeri, alangkah lebih berguna kalau saya mempelajari bidang ilmu lain. Terkait pula dengan poin kesatu: prospek kerjanya lebih luas.
Jadilah saya goyah. Hati saya kemudian condong untuk “selingkuh”.
Lalu, pada minggu ketiga Maret, saya mendapat informasi soal Beasiswa Unggulan Masyarakat Berprestasi Kemendikbud. Saya baca persyaratannya. Yang paling berat hanya dua: 1) Harus mempunyai prestasi minimal tingkat kabupaten maksimal tiga tahun ke belakang; dan 2) Untuk mahasiswa baru, harus sudah punya LoA (Letter of Acceptance; pernyataan yang menyatakan seseorang diterima di sebuah sekolah) di perguruan tinggi yang minimal terakreditasi B.
Saya bersyukur sebersyukur-bersyukurnya karena memenangi lomba menulis novel tahun 2015 seperti yang saya kisahkan di sini. Sertifikat itu jadi bisa saya pakai untuk mendaftar. Sekarang tinggal masalah kedua: LoA.
UGM belum membuka pendaftaran.
Sementara batas submit berkas pendaftaran adalah 19 April. Jadi saya harus mendaftar S2 ke PTN yang pengumuman hasilnya maksimal tanggal 19 April sehingga ketika pengumuman itu keluar, saya bisa langsung submit.
Oke, itu saya memang pede sekali saya bakal diterima. Tapi saat itu saya nggak punya pilihan selain gambling. Kalau saya nggak mengambil kesempatan ini, entah kapan saya akan mendapatkannya lagi.
Setelah mempelajari tanggal-tanggal pendaftaran semua PTN bergengsi di tanah Jawa, pilihan saya mengerucut hanya kepada dua: Undip dan Unair. Hanya kedua PTN itu saja yang sudah membuka pendaftaran untuk maba pascasarjana dengan pengumuman hasil tanggal 19 April.
Beasiswa Unggulan Kemendikbud mempunyai program prioritas. Perpustakaan salah satunya, tapi di kedua PTN tersebut tidak ada S2 Ilmu Perpustakaan. Mungkin ini jawaban Tuhan untuk meyakinkan saya banting setir. Setelah berdiskusi dengan teman-teman yang pernah menerima beasiswa, saya sadar bahwa sebaiknya saya tidak nekat mengambil jurusan yang bukan program prioritas, agar kemungkinan mendapatkan beasiswa lebih besar. Akhirnya saya memilih jurusan Kebijakan Publik di Unair. Kebijakan Publik merupakan salah satu program prioritas Beasiswa Unggulan Kemendikbud yang buat saya masuk akal untuk dipelajari, karena saya berkantor di pemerintahan sehingga relatif lebih mudah bagi saya untuk menulis proposal rencana studi karena saya punya alasan dan wawasan.
Sampai H-1 mau tes masuk, saya masih merasa absurd. Kuliah di kota sejauh dan seasing Surabaya tidak pernah terbayang dalam benak saya. Bolak-balik saya menanyai diri sendiri, “Apakah ini keputusan yang benar?” Tapi sudah nggak ada jalan mundur. Sekali lagi: saya harus gambling.
Semuanya berjalan baik. Tes wawancara lancar, bahkan pewawancaranya cukup senang dengan wawasan saya akan kebijakan publik. Tanggal 19 April, saya dinyatakan diterima. Segeralah saya lengkapi pendaftaran beasiswa dan men-submit-nya. Sekarang saya tinggal berdoa.
Sebelum lolos beasiswa, saya harus mendaftar ulang dulu ke kampus. Mendaftar ulang tentunya berarti membayar uang SPP dan sebagainya. Di situlah tekad saya benar-benar diuji. Kebetulan pascasarjana Unair tidak menggunakan sistem UKT sehingga Sumbangan Pengembangan Institusi alias “uang gedung” yang harus dibayarkan bersama SPP jumlahnya lumayan bikin mengurut dada. Tapi saya nggak punya pilihan. Agar LoA itu tidak hangus dan proses beasiswa bisa terus berjalan, saya pun menyelesaikan pendaftaran ulang.
Tentu saja, semenjak saat itu hidup saya tidak tenang. Saya kerap dihantui ketakutan: “Mampus banget aku kalau nggak dapat beasiswa!” Uang sekian belas juta itu harus saya tanggung sendiri, dan ke depannya untuk membiayai kuliah sampai lulus saya harus banting tulang bekerja. Belum tentu saya cepat mendapat kerja di sana… apalagi UMR sana tidak seperti di Jakarta. Saya tentunya harus resign dari kantor yang di Jakarta karena mana kuat saya membiayai ongkos bolak-balik Jkt-Sby setiap minggu?
Maka saya cuma bisa berdoa, berdoa, dan berdoa. Alhamdulillah saya lolos seleksi administrasi dan bisa melewati seleksi wawancara dengan relatif lancar. Saya cukup optimis tapi saya menjaga diri agar tidak takabur; tetap bertawakal pada Yang Di Atas. Saat itu saya benar-benar berpasrah kepada-Nya. Apa pun yang terjadi, terjadilah. Kalau saya tidak mendapatkan beasiswa itu, saya akan tetap sekolah dengan uang saya sendiri.
Syukur alhamdulillah, Allah Mahabaik. Saya dinyatakan sebagai Penerima Beasiswa Unggulan. Jadi uang SPP yang telah saya bayarkan itu bisa di-reimburse. :”””))
Akhir Juni, saya resign dari kantor. Kualitas hidup saya mulai membaik karena tidak perlu memaki-maki gegara bertarung dengan lalu lintas setiap hari. Saya bisa fokus mengikuti lomba novel lain. Semoga novel itu menang dan terbit jadi kelak saya dapat menulis ceritanya di sini juga. :’)
Sekarang di sinilah saya, siap menyongsong kehidupan baru sebagai mahasiswa. Tentu segala ketakutan finansial itu masih ada–bagaimanapun, kehidupan sebagai mahasiswa penerima beasiswa tidak bisa dibandingkan dengan kehidupan karyawan yang sudah bekerja hampir tiga tahun di sebuah instansi pemerintahan yang bonafide. Tapi saya tidak akan berhenti bersyukur. Ini pilihan, dan setelah sejauh ini, saya cukup yakin ini pilihan yang benar.
Hati saya masih sangat dekat dengan ilmu perpustakaan. Kalau dilihat dari karya ilmiah yang ditulis senior-senior saya, banyak makalah kebijakan publik tentang perpustakaan dan kearsipan. Luas sekali ternyata. Saya rasa memang perpustakaan dari sisi kebijakan publiknya belum banyak dikupas sehingga mungkin kapan-kapan saya juga bisa menulis tentang itu.
So proud of you pichan, Semangat jadi maba laagi 😊😭
Makasih Restu…… Iya nih jadi maba lagi akhirnya setelah sekian lama hehe
Pipi ai missyuu.
Pengen ngobrol langsung deh. Inspiring bgt. Jadi pengen nyusul jadi maba hhe :))
Miss you too, Sit :*
Semoga kapan-kapan bisa ketemu yaaa.
Insyaa Allah kelak kamu akan nyusul jadi maba, aamiin O:)