Serangkaian Titik-titik

One thing always leads to another.

Seperti kata Steve Jobs, kehidupan adalah garis yang disambungkan dari titik-titik. Kenapa suatu kejadian menimpa kita, karena nantinya kejadian itu akan menjadi gerbang penuju kejadian lain, yang akan membawa ke kejadian lain lagi. Begitu seterusnya.

Pada titik ini, saya mencoba menarik garis dari titik yang paling belakang–awal yang bisa dikatakan tidak baik.

Seandainya suasana kantor tetap seperti tahun pertama dan tidak berubah menjadi penuh drama melelahkan, tentu saya masih akan di sana. Saya tidak akan terdorong sampai mengeksekusi cari beasiswa, tidak akan kuliah di kota yang jauh, dan tidak harus tinggal di rumah indekos. Kalau saya masih bekerja kantoran, saya mungkin hanya akan melihat pengumuman lomba Inari Writing Festival tanpa punya waktu untuk menggarapnya. Saya tidak akan bisa fokus menyelesaikan tulisan itu dan mengirimnya sebelum batas waktu. Saya tidak akan ketemu novel saya dalam bentuk selesai, tidak akan pernah mengenal karakter-karakter saya, dan selamanya terjebak sebagai robot ibukota di dunia yang bukan passion saya.

Jadi begini.

Pada tanggal 16 Juli 2018, saya mengetahui lomba IWF itu dari Twitter. Pada saat itu, deadline lomba tersebut baru saja diperpanjang. Seharusnya deadline terakhir tanggal 15 Juli, tapi panitia memperpanjangnya selama satu bulan.

Ketika melihatnya, posisi saya sudah resign dari kantor dan sedang mempersiapkan kepindahan ke kota bakal tempat kuliah. Lalu saya bertekad: SAYA HARUS IKUT LOMBA ITU.

Sudah terlalu lama saya vakum menulis novel. Terakhir tahun 2015, kemudian saya mencurahkan seluruh waktu dan energi saya untuk kantor dan masalah keluarga. Saya tidak punya waktu maupun energi yang tersisa untuk menulis. Senin sampai Jumat berangkat pagi pulang malam, Sabtu Minggu tepar di rumah atau dihabiskan untuk kegiatan-kegiatan sosial (baca: ketemu teman atau saudara). Tidak ada tulisan yang saya hasilkan dalam kurun waktu tiga tahun itu. Satu-satunya tali yang tersisa buat saya untuk tetap berhubungan pada dunia tulis-menulis fiksi hanyalah menulis review di Goodreads untuk semua buku yang telah saya baca.

Saya ini tipe yang kalau menulis novel benar-benar harus fokus penuh waktu. Tidak bisa paruh waktu, tidak bisa disambi. Dulu, novel pertama saya A Place You Belong juga baru bisa saya selesaikan setelah resign dari kantor pertama.

Sama seperti kasus APYB, yang ketika melihat pengumumannya saya langsung mendapat bisikan baik: “THIS IS THE CHANCE!”, IWF pun begitu. Entah bagaimana, hati saya seolah tahu bahwa ini jalan yang Allah kasih buat saya. Apalagi Penerbit Inari punya track record yang bagus–saya percaya penuh pada penerbit yang menerbitkan novelnya Mbak Prisca Primasari, yang selalu saya beli dan baca tanpa absen satu pun.

Perjalanan menulis terasa begitu dimudahkan. Saya menyelesaikan plotting alur cerita dari awal sampai akhir hanya dalam dua jam pada tanggal 17 Juli–itu plotting tercepat yang pernah saya lakukan. Esoknya, saya mulai menulis dan tidak pernah berhenti. Tanggal 24 Juli, saya pindah ke kota tempat kuliah meskipun upacara pengukuhan mahasiswa baru masih lama, tanggal 8 Agustus. Tujuannya satu: agar saya mendapatkan kesendirian dan ketenangan yang saya butuhkan (dengan berada di rumah indekos) untuk menyelesaikan novel ini.

(Ngomong-ngomong, deadline-nya tanggal 15 Agustus.)

Saya berjibaku menyelesaikan novel ini dengan mengorbankan waktu tidur, waktu makan, dan waktu main saya. Punggung, pinggang, dan pundak diberi koyo setiap hari saking pegalnya. Mata lelah menatap laptop tapi saya tidak boleh menyerah. Saya terus maju, menjaga mood agar tidak bosan menulis.

Tapi itulah bagusnya menulis untuk kompetisi: mau tidak mau kamu harus menyelesaikan dan mengirimkannya sebelum deadline. Tanggal 10 Agustus, novel itu akhirnya selesai. Tanggal 12 Agustus, saya mengirimkannya ke panitia lomba. Pengumuman tanggal 26 September.

Selama menunggu pengumuman, saya luar biasa insecure. Terus-terusan membaca ulang dan merutuki diri ketika menemukan bagian yang seharusnya bisa ditulis lebih baik. Tak kunjung berhenti bertanya pada diri sendiri, “Ini udah bagus belum sih? Layak terbit nggak sih? Pembaca bakal suka nggak sih? Bisa menang nggak ya?” Dan seterusnya. Saya benar-benar tersiksa oleh insecurity itu, walaupun sisi rasional saya percaya pada Tuhan. Saya telah mengusahakan yang terbaik, dan Tuhan telah sebegininya memudahkan jalan…. Saya percaya itu berarti sesuatu.

Tetap saja, namanya manusia.

Saya insecure parah seperti itu karena saya benar-benar ingin novel ini bisa terbit. Saya merasa sudah terlalu lama mengesampingkan mimpi karena dipaksa menghadapi berbagai cobaan hidup orang dewasa. Sudah saatnya saya kembali pada passion sejati saya, dan untuk itu saya butuh pengakuan dengan melihat novel hasil karya jungkir balik saya selama kurang dari satu bulan itu terbit. Saya ingin berbahagia melihat hasil kerja keras saya, dan sangat berharap bisa mewujudkan mimpi untuk pada akhirnya melihat dan memegang novel sendiri di toko buku. (FYI, novel pertama saya hanya dijual melalui penjualan online, tidak masuk ke toko buku.)

Hari-hari berjalan lambat. Saya menunggu tanggal 26 September dengan menghitung hari secara harfiah.

Kemudian, tanggal itu tiba.

Saya kuliah sesorean sampai malam. Pengumuman pukul tujuh. Saya tidak menyimak live-nya karena sedang kuliah. Tadinya saya berpikir untuk mengecek pengumuman ketika sudah pulang ke kos saja, tapi rasa penasaran saya menang. Untungnya kuliahnya cukup santai karena hanya matrikulasi. Saya pun meraih HP ketika dosen menerangkan (jangan ditiru!), kemudian membuka akun Instagram Penerbit Inari.

Lalu menahan diri untuk tidak mewek-mewek.

20 Naskah Terbaik

(Saya yang nomor 4. Itu nama pena saya, sebagaimana yang saya pakai untuk APYB.)

Pengumuman juara diberitahukan dua hari kemudian. Saya tidak menang, dan itu tidak apa-apa. Saya sudah terlalu bersyukur karena berhasil masuk 20 besar. Ternyata oh ternyata, Tuhan masih begitu baiknya. Saya mendapat e-mail yang menyatakan bahwa Inari akan menerbitkan novel saya dalam bentuk cetak.

Saya membuka e-mail itu saat sedang duduk menunggu pesanan mi tek-tek sehingga lagi-lagi harus menahan diri untuk tidak mewek-mewek seketika.

***

Sungguh, sekali lagi dan tak akan pernah bosan saya katakan, percayalah pada-Nya. Kadang segalanya terasa begitu absurd, tapi semua telah Dia atur sedemikian rupa… dengan sangat manisnya hingga semua lelah dan sakit itu terlupa. Semua pahit akan menuntun pada sesuatu yang manis pada akhirnya. Saya percaya itu.

Pada titik ini, saya hanya bisa bersyukur karena telah mengalami kejadian-kejadian tak enak sebelum tiba di sini, kalau memang semuanya telah diatur untuk mengarah ke sini pada akhirnya. :’)

Mohon tunggu novel ini terbit yah!

 

 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: