Selama masa-masa karantina Covid-19 ini saya sering bertanya pada diri sendiri, “Apakah saya terlambat menjadi penulis?”
Sejak SD saya bercita-cita menjadi penulis. Selama SMP, SMA, kuliah, saya terus berkarya. Tak pernah menghilangkan mimpi untuk melihat novel sendiri terpajang di toko buku suatu hari nanti. Saya memenangi beberapa lomba cerpen dan tidak berhenti menulis novel meskipun surat-surat penolakan beserta naskah yang dikembalikan penerbit bertumpuk di folder.
Saya sadar, waktu itu saya terlalu sombong. Merasa diri ini sudah menguasai ilmu menulis, hanya karena sedikit prestasi yang pernah ditoreh. Padahal, cerpen dan novel tentu saja berbeda. Kini, setiap saya membaca ulang novel-novel tulisan lama, saya getir sendiri. Bagaimana mungkin saya pernah berpikir novel-novel itu layak diterbitkan? Untungnya tidak terbit. Seandainya terbit, saya tidak tahu bagaimana harus menanggung rasa malu memiliki karya dengan kualitas seperti itu.
Ketika pada tahun 2015 novel saya diakui untuk pertama kalinya dengan memenangi suatu lomba, saya sangat bahagia. Walaupun terbitnya novel itu belum memenuhi cita-cita saya untuk melihat novel sendiri di toko buku (karena novelnya hanya dijual secara daring), saya tetap amat bersyukur. Setidaknya saya bisa merasakan memegang buku cetak dengan nama saya sebagai penulis di sampulnya, dan saya bisa lumayan merasa bangga terhadap cerita yang saya sajikan. Saya merasa cerita itu sudah pantas terbit, sudah cukup mencapai standar novel yang selama ini saya bayangkan. Intinya, akhirnya saya mengerti bagaimana caranya menulis novel sesuai standar penerbitan–sesuatu yang selama masa sekolah dulu luput dari perhatian.
Namun, saat itu industri buku sudah berubah, tidak lagi seperti tahun 2000-an sampai awal 2010-an. Barangkali karena biaya produksi semakin tinggi dan orang yang membeli novel berkurang seiring meningginya frekuensi mereka menghabiskan waktu di medsos dan online entertainment lainnya, jadi penjualan novel juga tidak seperti sebelumnya. Alhasil, penerbit lebih suka menerbitkan novel dari penulis yang sudah punya nama besar, atau mencetak cerita yang sudah punya rekam jejak bagus di platform menulis daring. Rasanya semakin sulit bagi penulis baru untuk bisa menembus penerbit mayor.
Tiga tahun kemudian, setelah vakum menulis karena satu dan lain hal, akhirnya saya bisa menulis novel lagi untuk sebuah lomba. Novel itu awalnya dijanjikan terbit berupa hard copy, tapi setelah sekian bulan, saya diberi pilihan: novel saya diterbitkan dalam bentuk e-book, atau saya boleh menarik naskah itu untuk mencari penerbit lain. Saya memahami alasan yang penerbit kemukakan terkait evaluasi penjualan novel-novel mereka sebelumnya. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya saya memilih untuk stay di penerbit itu dan mengizinkan mereka menerbitkan novel saya dalam bentuk e-book.
Itu adalah pertama kalinya saya berpikir, “Apakah saya terlambat menjadi penulis?”
Maksud saya, jika lomba ini diselenggarakan pada tahun 2000-an sampai 2010-an awal ketika industri penerbitan masih jaya-jayanya, mungkin saya tidak akan diberi opsi seperti itu, atau istilah teman saya, “di-PHP”. Novel-novel kami akan diterbitkan semua dalam bentuk cetak.
Lalu kini, ada pandemi. Industri penerbitan semakin jungkir balik. Novel X saya yang menang lomba lain tertahan terbit karena kondisi belum memungkinkan. Novel Y saya yang sedang di tangan penerbit lain juga entah bagaimana masa depannya; kalau terbit barangkali hanya sebagai e-book juga–entah apakah ada kesempatan melihat novel itu menjadi buku cetak.
Tidak ada yang tahu kapan Covid-19 berakhir, atau bahkan apakah virus itu bakal benar-benar lenyap dari muka bumi. Berdasarkan pernyataan WHO, virus itu akan sulit musnah. Kita akan harus belajar untuk hidup bersamanya. Menyesuaikan diri. Membentuk new normal.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana industri penerbitan ke depannya, setelah mereka terhantam hebat gara-gara pandemi ini. Apakah nanti tidak ada toko buku offline? Apakah nanti tidak ada buku cetak? Apakah nanti semua buku hanya terbit dalam bentuk e-book? Wallaahu a’lam.
Akhirnya pertanyaan itu pun kembali muncul, “Apakah saya terlambat menjadi penulis?”
Pada usia dua puluhan akhir, saat saya akhirnya mengetahui cara menulis sesuai standar novel yang layak terbit, pandemi mengubah segalanya.
Sekarang saya berdiri di landasan rapuh yang tak pasti. Masih bisakah saya bermimpi untuk kelak memegang novel saya sendiri di toko buku? Ada banyak cerita yang ingin saya tulis. Di kepala saya ada berbagai ide, dan kini saya punya waktu untuk menuliskannya. Saya ingin menulis lebih banyak lagi, saya ingin cerita-cerita saya sampai ke banyak orang dan menginspirasi mereka.
Namun, kondisi dunia seperti ini. Rasanya suram dan buram karena tak tahu bagaimana industri penerbitan nanti. Saya bukannya meremehkan e-book–tidak sama sekali. Saya cuma ingin bisa mewujudkan mimpi masa kecil saya untuk melihat dan memegang novel saya sendiri di toko buku, setidaknya satu kali.
Apakah itu masih mungkin?
Apakah impian itu juga harus disesuaikan?
Mau tak mau saya jadi berkhayal memiliki mesin waktu agar saya bisa kembali ke masa lalu, tahun 2000-an sampai awal 2010-an, untuk mengirimkan novel yang saya tulis sebagai orang dewasa pada zaman sekarang ke penerbit pada masa itu. Siapa tahu mereka menyukai dan menerimanya.