Nggak pernah ada novel yang bikin saya se-desperate ini selama menulisnya.
MNS–judul sementara–bikin saya jungkir balik, gegulingan, dan merengek-rengek sendiri, setiap hari.
Pernah saking nggak tahannya, saya berhenti menulis selama beberapa waktu dan mencari pelarian, apa pun asal menjauh sementara dari novel itu. Yang mana cukup sulit, dengan kondisi nggak bisa ke mana-mana kayak sekarang.
Sebegitu beratnya menulis MNS ini.
Sebenarnya saya sendiri heran kenapa bisa sampai seperti ini. Konten novel ini tidak seberat novel lain yang pernah saya tulis. Risetnya memakan banyak waktu, tapi bisa diselesaikan karena sedang karantina. Inti ceritanya sederhana, karakternya pun everyday people. Ini novel remaja, for God’s sake!
Tapi entah bagaimana, menulis MNS sangat emotionally exhausting and draining. Barangkali karena temanya (dan saya tidak tahu apakah penerbit yang saya tuju akan menerima novel dengan tema semacam itu–semoga saja mereka mau). Capek sekali menulis ini, mengeksplorasi kepala tokoh-tokohnya, mengetikkan kisah-kisah yang ingin mereka ceritakan. Apalagi ego sebagai orang dewasa kerap muncul, semakin menyusahkan. Saya harus menyingkirkan ego itu dan kembali berusaha berada di posisi karakter sebagai remaja agar bisa menuliskan cerita mereka secara manusiawi.
Tema novel ini pun bukan sesuatu yang saya suka. Saya memang cenderung nggak tega dengan tema-tema semacam itu. Di sisi lain, saya harus menulisnya. Saya ingin mengangkat masalah itu ke dalam sebuah cerita. Saya berharap novel ini nantinya bisa menjangkau banyak orang (terutama remaja) dan meningkatkan awareness mereka terhadap topik itu.
Pembangunan ceritanya sejak awal sudah sangat sulit. Bulan Maret saya menulis beberapa bab, tapi it didn’t work. Akhirnya bulan April saya rombak dan tulis lagi dari kalimat pertama, mengambil teknik dan sudut pandang baru dengan mendaur ulang beberapa elemen dari bab-bab bulan Maret. Barulah ceritanya bisa berjalan.
Mulanya lancar–target “1 hari 1 bab” bisa saya laksanakan. Semakin ke sini, rasanya semakin berat. Kisah mereka menghantui saya, karakter-karakternya menuntut saya untuk segera menyelesaikan, tapi saya selalu ngeri setiap membuka file Word itu. Berulang kali saya hanya bisa memandanginya, cuma ingin mewek-mewek, tak sanggup meneruskan. Target saya untuk menamatkan novel itu pada akhir April pun berantakan.
Kini tinggal satu bab akhir dan epilog. Saya belum melanjutkan. Masih ketakutan. Belum lagi setelah itu saya harus self-editing dan menyempurnakan ini-itu sebelum mengirimkannya. Membayangkan harus kembali ditarik ke universe novel itu saja rasanya bikin gentar.
Tapi …
Saya tahu, ketika nanti MNS selesai ditulis, saya akan sangat lega dan bahagia. Mungkin juga sedikit bangga. Novel ini akan menjadi anak saya yang amat, amat berharga. Saya benar-benar berharap dan berdoa agar kelak novel ini bisa sampai ke tangan banyak orang. Semoga saja bisa terbit.