Oke, jadi saya melihat orang-orang pada cerita tentang karya-karyanya yang memenangi Kompetisi Menulis Indiva 2020 lalu. Saya jadi ingin cerita juga.

Sebetulnya karya saya yang menang ini sudah pernah saya singgung sekilas di postingan ini (tertanggal 22 Mei 2020) ketika saya masih dalam proses menulisnya. Kalau Anda membaca post tersebut, Anda akan tahu bahwa proses penulisan MNS sangat berat buat saya. Emotionally draining and exhausting. Betul-betul hampir tak tertahankan; seberat itu.
Selain itu, menulis MNS untuk mengikutsertakannya ke Kompetisi Menulis Indiva 2020 adalah gambling besar buat saya. Ada beberapa faktor.
Pertama, karena saya nekat mengambil genre drama. Maksud saya begini: novel saya yang menang Kompetisi Menulis Indiva 2019, Perempuan Misterius, adalah novel misteri. Novel remaja bergenre misteri belum terlalu banyak di Indonesia. Lautan ide yang belum dieksplorasi untuk genre misteri di ranah novel remaja masih sangat luas dan dalam. Berbeda dengan genre drama. Novel remaja bergenre drama kan buanyaaaakkk banget di luar sana. Teenlit-teenlit itu, lihat. Kebanyakan genre drama. Meski disandingkan dengan genre romance, friendship, dan lain-lain, tetap saja intinya novel-novel itu bergenre drama. Jadi, untuk mencari ide “novel remaja bergenre drama” yang benar-benar out of the box dan antimainstream ya harus semedi betul. Menyelam, menggali, mencari sudut-sudut tersembunyi yang selama ini belum pernah dieksplorasi untuk novel remaja bergenre drama. Sebagai pembaca, saya tidak masalah dengan ide klise selama eksekusinya bagus, tapi untuk kompetisi kan tidak bisa begitu. Sejak awal idenya harus beda agar novelnya standout. Saya tidak tahu cerita-cerita peserta lain seperti apa, seunik apa ide-ide yang mereka ambil. Yang jelas saya cukup yakin, pasti kebanyakan juga mengambil genre drama. Makanya, novel ini gambling sekali.
Kedua, karena cerita yang saya angkat ini agak dark. Awalnya memang seperti novel remaja biasa — bahkan kesan awal novel ini agak menye-menye — tapi sebenarnya tidak seperti itu. Ada satu permasalahan sosial yang saya angkat di novel My New Sister ini, permasalahan sosial yang penting tapi membicarakannya akan bikin orang nggak nyaman. Permasalahan sosial itulah yang bikin novel ini jadi agak dark — walaupun sebenarnya permasalahan sosial tersebut hanyalah salah satu layer dari berlapis-lapis layer yang saya maksudkan dalam penulisan novel ini. Saya gambling karena saya nggak tahu apakah dengan saya mengangkat permasalahan sosial itu, novel ini menjadi terlalu dark dan/atau terlalu dewasa untuk standar novel remaja Indiva. Tapi saya nekat jalan terus, karena saya merasa permasalahan sosial itu penting untuk diangkat dan saya ingin spreading awareness remaja terhadap permasalahan sosial tersebut.
Ketiga, karena — seperti yang sudah saya sebutkan — ada bagian novel ini yang terkesan “menye-menye” seperti teenlit kebanyakan. Saya harus membuatnya seperti itu karena penekanan utama novel ini adalah pada perkembangan karakter tokoh utamanya. Novel ini bisa dikatakan termasuk semi-coming-of-age, tema besarnya adalah proses pencarian jati diri. Dan sebagaimana cerita-cerita coming-of-age pada umumnya, elemen character development adalah yang terpenting. Jadi saya tetap tuliskan segala menye-menye itu untuk menunjang character development. Masalahnya, bagian menye-menye ini di awal. Saya gambling karena para juri akan harus bertahan membaca melewati bagian menye-menye itu untuk bisa paham maksud keseluruhan yang ingin saya sampaikan di novel ini dan tidak memandangnya seperti teenlit kebanyakan. Alhamdulillah, ternyata mereka bertahan. :’)

Pokoknya, menulis MNS untuk Kompetisi Menulis Indiva 2020 ini betul-betul gambling dari segala aspek. Tapi yaaa … I moved beyond that. Sejak awal novel ini tidak saya tulis dengan niat untuk memenangi kompetisi. Saya menulis ini karena berharap novel ini bisa bermanfaat dan menginspirasi remaja untuk menjadi orang yang terus belajar untuk menjadi lebih baik. Jadi saya lepaskan segala ambisi dan menyerahkan semua pada-Nya, tidak berharap dan berekspektasi apa pun kepada manusia. Jika pada akhirnya novel ini mendapat apresiasi di mata manusia, itu berarti — saya ingin senantiasa husnuzhon pada-Nya — Dia meridhoi niat baik saya dalam menulis novel ini.
Walaupun begitu, saya terus mendoakan novel ini agar bisa sampai ke tangan banyak orang, bisa dibaca masyarakat luas agar apa yang ingin saya sampaikan melalui novel ini bisa meresap ke hati mereka.
Alhamdulillah, alhamdulillah banget, novel ini berhasil menjadi juara III. Itu saya nggak nyangka sama sekali, waktu lihat pengumuman aja saya kaget banget — jauh lebih kaget daripada pengumuman pemenang Kompetisi Menulis Indiva tahun lalu. Dan langsung bersyukur sebersyukur-bersyukurnya. Semoga kisah Lyra dan Yatri dalam novel ini benar-benar bisa menginspirasi para pembacanya kelak.