Ada proyek-proyek novel baru yang saya targetkan untuk selesaikan. Proyek-proyek itu sudah saya ikat dengan satu tekad: bukan-novel-remaja. Saya ingin istirahat sebentar dari novel remaja, terutama setelah MNS yang melelahkan (revisinya kemarin juga super menguras emosi). Jadi saya ingin, setelah ini kembali ke jenis novel yang lebih menarik sekaligus menantang untuk saya, yaitu novel dewasa — dengan karakter-karakter berusia 20-an.
Hanya saja … saya merasa kesulitan untuk memulai karena masih belum bisa menghilangkan feel dari novel dewasa yang terakhir saya tulis.
Sekitar dua bulan yang lalu saya menerima kabar baik bahwa novel dewasa saya, berjudul T, diterima oleh salah satu penerbit mayor. T adalah novel tersulit yang pernah saya selesaikan. Menulis MNS memang sulit, tapi kadar kesulitan dalam menulis T jauuuh berkali-kali lipat di atas MNS. So far, T adalah novel saya yang durasi penulisannya paling lama, yaitu empat bulan. Hasil akhirnya jauh dari rancangan outline awal, tapi saya sangat puas. T adalah novel kebanggaan saya.
Seperti yang sudah disebutkan, T bukan novel remaja. Memang ada tokoh remajanya dalam deretan main characters, tapi bukan dia fokusnya. T adalah novel dewasa muda (new adult), dengan tokoh utama berusia dua puluhan awal.
T adalah perwujudan masterpiece bagi kemampuan menulis saya saat ini. Ke depannya saya akan terus belajar dan meningkatkan kemampuan menulis saya, tapi untuk saat ini, dengan segala keterbatasan dalam kemampuan menulis yang saya miliki, melihat hasil akhir T terasa sangat memuaskan. Saya menepuk punggung saya sendiri karena berhasil menyelesaikan T di atas ekspektasi saya pribadi. Penulisan T adalah sesuatu yang bagi saya membanggakan dan mengharukan.
Itulah kenapa saya sulit memulai novel baru yang bukan novel remaja. Saya selalu berkaca pada T dan berpikir keras, bagaimana melampauinya? Saya berambisi untuk menghasilkan novel dewasa yang setara atau lebih dari T agar tidak “downgrade“. Dan karena T adalah novel yang sangat tinggi tingkat kesulitannya, saya jadi tidak bisa menanggalkannya begitu saja dari kepala saya. Ketika saya mulai merancang plot dan memikirkan teknik apa yang akan saya ambil untuk mengeksekusi novel dewasa baru, saya akan selalu teringat T dan memecut diri untuk menulis yang lebih bagus daripada itu.
Yang mana, tentu saja, bukan hal yang mudah.
Saya ingin lepas dari bayang-bayang T. Saya ingin bisa menciptakan novel dewasa baru tanpa teringat T, ingin mampu menulis tanpa terbentur duluan oleh tembok bernama T.
Tapi ….
Jika mengandaikan hasil akhir novel saya setelah ini tidak sebaik T ….
Kok rasanya sedih, ya đŸ˜¦