Sudah sebulan lebih saya mengalami writer’s block yang sangat buruk. Rasa letih akibat dua tahun lebih bekerja keras ini-itu mulai melanda. Untungnya, sebelum terserang writer’s block itu, saya sempat menulis cerpen yang saya ikut sertakan untuk Kompetisi Menulis Cerpen #GardaTerdepan yang diselenggarakan Storial.co. Tema kompetisinya adalah cerita yang mengangkat aneka profesi orang-orang yang menjadi garda terdepan selama pandemi untuk memastikan roda kehidupan masyarakat tetap berjalan, seperti nakes, ojol, dan pekerjaan lainnya.

Saat melihat pengumuman lomba itu, saya sudah bertekad nggak mau menulis cerita tentang nakes atau ojol. Saya menoleh ke arah lain: pegawai pemerintahan. Karena saya memiliki basic itu — pernah bekerja di instansi pemerintah, memiliki banyak teman/kenalan yang masih bekerja di sana — juga melihat fakta betapa banyak pegawai pemerintah yang berguguran, saya ingin menulis kisah tentang mereka.
Juga untuk … “do justice to them“. Soalnya selama pandemi ini kan yang lebih banyak di-highlight adalah aneka kontroversi terkait cara pemerintah menangani pandemi. Padahal ya … walaupun yang tersorot media adalah pejabat-pejabatnya — sebagai wajah dari instansi/K/L/Pemda tersebut — kenyataannya ada banyak PNS di belakangnya, yang berjuang agar segala hal tetap berjalan. Ada street-level bureaucrat dan pegawai-pegawai yang sebenarnya justru lebih ribet dan lebih berjibun pekerjaannya. :’))
Bagaimanapun, sebagai penduduk di suatu negara, pemerintahlah yang punya tanggung jawab mengatur kehidupan rakyat, baik dalam keadaan krisis maupun nonkrisis. Dan kata “pemerintah” tidak bisa dimaknai sempit dengan hanya merujuk kepada pejabat-pejabat kontroversial itu saja.
Maka lahirlah cerpen ini. Saya beri judul You’ve Got Bookmail, yang merupakan permainan kata dari film You’ve Got Mail — film beken tahun 1998 yang diperankan Tom Hanks dan Meg Ryan.

Cerpen ini mengangkat kisah seorang PNS Kementerian yang menjadi protokoler menteri. Selama pandemi ini dia tidak bisa WFH karena harus tetap standby memastikan segala kegiatan dan kunjungan menteri dalam rangka pemberian bansos berjalan dengan baik. Namanya protokoler pejabat, kebayang lah ribetnya gimana. Mempersiapkan acara yang dihadiri pejabat — apalagi setingkat menteri — tuh ribet banget, lho. Harus koordinasi ke sana kemari, nyiapin ini-itu, memastikan segalanya berjalan lancar dan sempurna dari sebelum menteri datang sampai pulang lagi.
Proses penulisan cerpen ini lama sekali, seminggu lebih. Risetnya sulit. Dan karena cerpennya panjang — hampir 7000 kata — ceritanya juga mencakup banyak hal. Seperti kebiasaan saya selama beberapa tahun belakangan, saya suka menulis cerpen yang rentang waktunya bertahun-tahun. Tidak hanya beberapa babak dan adegan dari periode waktu yang sama, melainkan menggunakan alur maju-mundur yang mengisahkan cerita si tokoh dalam rentang masa tahunan.
Menulis cerpen ini, terlepas dari segala kesulitannya, sejujurnya sangat membebaskan. Saya akhirnya bisa keluar dari kepala tokoh remaja (karena sebelum-sebelumnya saya nulis novel remaja terus). Dan karena ini cerpen tanpa dibatasi jumlah kata maksimal, saya bebas berekspresi. Menulis saja sebagaimana saya ingin menulis, membiarkan si karakter berjalan menceritakan kisahnya. Mungkin itulah kenapa cerita ini jadi terasa sangat panjang, karena di sini saya memang bermaksud untuk menceritakan “sepotong periode kehidupan” dari si tokoh. Bisa jadi ada yang menganggap beberapa bagian dalam cerpen ini tidak relevan (dengan tema kompetisi), tapi bagi saya sih, semua bagian dalam cerpen ini relevan dan merupakan satu kesatuan tak terpisahkan. Biar kehidupan tokohnya lebih kuat tergambar, gitu. Kan niatnya agar pembaca merasa lagi nonton kehidupan orang.
Mengeksplorasi kepala si tokoh aku dalam cerpen ini (yang sengaja tidak saya kasih nama) sangat menyenangkan, melegakan, dan sama sekali tidak bikin saya stres, berbanding terbalik dengan yang biasa saya alami kalau sedang “menjadi” karakter remaja. Apalagi si tokoh aku ini posisinya menceritakan orang lain (kakaknya), jadi lebih santai lagi. Saya juga jadi bisa bereksperimen dengan teknik naratif dan mencoba gaya penulisan yang belum pernah saya pakai dalam novel. Dan terutama, karena ini “hanya” cerpen, saya tidak perlu bekerja keras dalam mengembangkan plotnya, sebagaimana yang harus selalu saya lakukan dalam penulisan novel.
Ketika cerpen ini sudah jadi dan saya baca ulang keesokan harinya, saya sadar bahwa saya memang menuliskan cerita ini sebagai a family story, cerita keluarga. Di sini unsur family-nya kental sekali, dan barangkali itu adalah hasil refleksi keinginan alam bawah sadar saya akan sebuah keluarga ideal yang tidak saya miliki: keluarga inti yang menjadi support system yang baik bagi setiap anggotanya.
Cerpen ini nggak banyak dipoles lagi setelah selesai. Mata saya mbrambang sendiri usai membaca ulang untuk pertama kali, dan saya tahu, itu artinya permainan emosi saya untuk cerpen ini berhasil. Biasanya, kalau saya mbrambang setelah membaca ulang cerita saya sendiri, berarti orang lain yang baca juga bakal ikut mbrambang. Dari dulu selalu kayak gitu sih, jadi saya senang hehe.
Tapi niat awal saya tetap: saya berharap cerita ini bisa menginspirasi banyak orang, dan terutama, membuat orang-orang jadi lebih menyadari bahwa di balik segala pemberitaan buruk tentang cara pemerintah dalam menangani pandemi, sebenarnya ada PNS-PNS yang berdedikasi di baliknya.
Ini seperti … dulu waktu kuliah S1, saya juga sering antipati sama pemerintah, tapi setelah kerja di instansi, saya sadar bahwa kita memang nggak akan bisa mengenal sesuatu sepenuhnya sebelum menceburkan diri dan melihat bagaimana dalamnya.
Akhirnya saya publish-lah cerpen itu, yang bisa dibaca di tautan ini: https://www.storial.co/book/you-ve-got-bookmail/
Dalam kompetisi menulis yang bersifat “open” alias kita bisa saling membaca karya satu sama lain, biasanya saya menghindari membaca cerita penulis-penulis lain biar nggak insekyur. Saya lumayan terkejut sekaligus senang saat mendapati views cerpen itu lumayan banyak, meskipun engagement-nya sedikit haha. Nggak kaget sih. Online presence saya di platform menulis memang nggak kayak dulu ketika saya masih aktif di FFN. Beberapa review yang masuk — semuanya dari teman-teman saya — alhamdulillah responsnya positif. Tapi saya nggak tahu pendapat orang lain di luar teman-teman saya, karena nggak ada yang komen. :)))
Ternyata eh ternyata, alhamdulillah, juri juga berpendapat bagus. Senang sekali saya waktu kemarin mendapati pengumuman ini:

Bahagia banget rasanya karena kisah kakak adik ini diapresiasi. :’) Dan setelah pengumuman, traffic views-nya langsung naik drastis dong hahaha. =))
Saya berharap cerita ini bisa bermanfaat dan menginspirasi siapa pun yang membacanya. Menyenangkan rasanya menulis cerita jenis ini, yang liberating dan benar-benar bisa memaksimalkan ekspresi dan kreativitas saya sebagai penulis — tidak dibatasi dengan jumlah kata, tapi juga nggak harus panjang dan berbelit-belit. Semoga kapan-kapan bisa menulis cerita semacam ini lagi.
Dan karena habis mendapat apresiasi itu, saya jadi semangat memulai nulis cerita baru. 🙂
Silakan mampir ke link di atas bagi yang mau baca You’ve Got Bookmail! ^^