Kemarin pagi, saat mengecek Gramedia Digital, saya mendapat kejutan. Novel saya, judulnya Tingka, sudah terbit sebagai e-book di sana.
“Akhirnyaaa … terbit jugaaa!” Saya kegirangan dalam hati. Kalau ada emoji nangis darah, mungkin saya akan menggunakannya.

Saya pernah menyebutkan soal Tingka di blog ini, tepatnya di postingan ini. Di situ saya menceritakan sekilas tentang Tingka, dengan judul yang masih disensor karena belum terbit. Satu hal yang jelas dalam postingan itu: Tingka adalah karya terbaik saya sejauh ini. Dan fakta itu belum berubah sampai sekarang. Kalau ada yang bertanya, karya saya yang mana yang terbaik di antara semua novel saya yang sudah terbit, saya tidak akan ragu menjawab Tingka.
Saya mulai menulis Tingka bulan Januari 2019 sampai April 2019. Idenya terpantik tak lama setelah saya mengikuti kuliah Filsafat Ilmu pada bulan-bulan Oktober-November 2018, di mana kami membahas sebuah artikel mengenai penghayat kepercayaan. Di situlah saya jadi lebih aware terhadap isu-isu terkait penghayat kepercayaan — sesuatu yang sebelumnya tidak saya ketahui. Saya pun mulai melakukan riset lebih mendalam, baca-baca lebih banyak tentang penghayat kepercayaan dari aneka artikel jurnal ilmiah maupun berita, mempelajari timeline peraturan perundang-undangan tentang penghayat kepercayaan, dan sebagainya. Satu folder riset Tingka isinya mencapai hampir lima puluh artikel. Saking mendalamnya riset itu, saya sampai sempat pengin mengangkat topik itu untuk tesis saya haha. (Tapi karena satu dan lain hal, akhirnya nggak jadi.)
Waktu itu saya berencana mengikutsertakan Tingka ke suatu lomba novel. Plot Tingka berasal dari draft lama hasil coret-coretan novel-yang-tidak-jadi bertahun silam, genrenya drama/misteri juga. Fokus utamanya terletak pada tokoh Sir (yang di draft itu bernama Marianne), dengan tema besar: “segala yang religius belum tentu suci”.
Novel yang menjadi cikal bakal Tingka itu diniatkan sebagai novel fantasi murni, dengan latar dunia antah berantah. Tapi karena Tingka saya tulis untuk lomba yang diselenggarakan penerbit sastra, saya menimbang kemungkinan bahwa kansnya lebih oke kalau latarnya di dunia nyata. Namun, tentu saja saya paham betapa riskannya mengangkat suatu topik yang bisa menyinggung SARA. Maka saya tetap memasukkan elemen fantasi itu dengan membuat pulau dan kepercayaan fiktif.
Inti misteri di rancangan plot Tingka lumayan sama dengan draft novel fantasi itu. Saya tambahkan beberapa hal agar integrasinya dengan kehidupan Indonesia lebih smooth, seperti tokoh Joe dan Tazky dengan kehidupan mereka sebagai mahasiswa (yang malah menjadi punya peran signifikan di Tingka), juga isu-isu riil terkait penghayat kepercayaan. Saya pengin bisa membuat Pulau Tingka dan kepercayaan Midaya itu tetap believable ada, jadi saya berusaha meramunya sedemikian rupa.
Sebetulnya yang membuat Tingka menjadi novel tersulit yang pernah saya tulis adalah crafting plot dan eksekusinya. Misteri di Tingka berlapis-lapis, tapi saya harus bisa membangunnya dari awal (baca: foreshadowing) dengan planting hints di sana-sini. Saya benar-benar merancang bagaimana membagi-bagi hints tersebut di setiap bab. Mana yang harus dikeluarkan di bab ini, di bab itu, sampai akhirnya membentuk suatu misteri utuh yang saling menjawab dan saling menjelaskan baik di awal maupun di akhir. Catatan saya untuk garis waktu peristiwa-peristiwa di Tingka, juga berbagai trivial mengenainya, menghabiskan berlembar-lembar kertas.
Selain itu, Tingka adalah novel dengan banyak karakter yang masing-masing memiliki porsi kemunculan lumayan besar karena saya menggunakan teknik penulisan multi-POV. Saya jadi harus membangun karakter-karakter itu satu per satu — sifatnya, penampilan fisiknya, backstory-nya, motivasinya, perannya dalam cerita. Saya harus bisa membedakan mereka antara satu dengan yang lain, berusaha membuat mereka terasa “hidup”. Apalagi saya meniatkan Tingka ini untuk menjadi cerita tragis/sedih dengan emosi yang intens. Saya harus membangun emosi setiap karakter, juga hubungan mereka satu sama lain yang menciptakan emosi-emosi itu.
Dan saya juga mesti merancang bagaimana Pulau Tingka (geografisnya, budayanya, kehidupan sehari-hari di sana) dan kepercayaan Midaya (sejarah, ritual, hari raya) selaku dua latar fiktif yang, sebagaimana yang telah disebutkan di atas, diniatkan untuk believable ada. Ini juga sangat nggak gampang — seperti world building kecil-kecilan (bukan kolosal), tapi tetap harus detail dan menyeluruh. Saya sempat mandeg menulis cukup lama untuk membangun ini.
Jadi, begitulah. Tingkat kesulitan menulis Tingka terletak di hampir semua aspek dalam cerita ini: riset ide, plotting, misteri, penempatan adegan, pembentukan dan penggerakan karakter, serta pembangunan latar. Tingka adalah novel dengan effort terbesar yang pernah saya keluarkan.
Namun, meskipun penulisannya sangat susah, saya bangga dengan hasilnya. :’) Tentu saja hasil akhir Tingka tidak sesuai dengan plotting awal — akibat elaborasi dan sebagainya — tapi justru menjadi much better. Saya puas dan bersyukur banget dengan hasilnya. Apalagi setelah saya tes Tingka ke tiga first reader. Mereka memberi banyak sekali masukan yang saya terima dengan penuh rasa terima kasih, lalu saya gunakan untuk memperbaiki Tingka. Tanpa input mereka, Tingka tidak akan menjadi sebaik ini. (I owe you, Ambu-san, Dinchan, Evey!)
Saya kirimlah Tingka ke lomba. Pengumuman lombanya pada akhir 2019. Tidak menang, tentu saja. Setelah itu Tingka saya revisi lagi, membuang bagian-bagian yang kurang memiliki kepentingan dalam cerita keseluruhan, menambahkan bagian-bagian lain yang lebih bisa membumbui cerita. Saya kirim Tingka ke penerbit, kali ini melalui jalur reguler nonlomba. Lama tak berkabar, tampaknya Tingka ditolak.
Akhirnya bulan Juli 2020, saya kirimkan lagi Tingka ke Elex Media Komputindo melalui dps. Sebulan kemudian, Agustus 2020, saya mendapat tawaran untuk menerbitkan naskah itu dalam bentuk e-book. Setelah mempertimbangkan berbagai hal, akhirnya saya setuju. Melalui proses ini dan itu yang panjang, tanggal 4 Mei 2021 terbitlah Tingka di Gramedia Digital. Selanjutnya akan menyusul di Google Books.

Tingka sebetulnya tidak dimaksudkan menjadi serial. Saya menulisnya sebagai satu buku utuh saja. Tapi Elex memang sedang punya proyek menerbitkan e-book-e-book serial dari satu naskah novel yang dibagi-bagi menjadi beberapa jilid. Setiap jilidnya hanya 100-an halaman. Mungkin memang sengaja dimaksudkan seperti itu agar membacanya tidak memerlukan waktu yang lama.
Kemarin saya sudah membaca ulang Tingka versi terbit itu, dan saya sangat bersyukur. Sampai kini pun saya masih takjub dan terharu melihat perjalanan panjang Tingka akhirnya menemukan muaranya. Semoga Tingka bisa dibaca banyak orang dan ada manfaat yang bisa diambil dari sana. Aamiin.