Alhamdulillah, tanggal 10 November lalu, saya membaca nama dan judul cerpen saya sebagai Juara 2 Sayembara Cerita Kesehatan Mental “Nuraga” yang diselenggarakan oleh Sekala Kecil.

Saya melihat pengumuman itu menjelang magrib. Asliii, saya langsung jerit, terus meweq. Soalnya saya tuh nggak nyangka banget bisa menang. Juara 2, pula!
Sebelum pengumuman 3 Pemenang Utama, Sekacil mengunggah pengumuman 7 Pemenang Harapan terlebih dahulu. Kesepuluh cerpen pemenang ini nantinya akan dibukukan menjadi Antologi Cerpen Nuraga.
Nah, saya tuh, sejak awal agak-agak insecure sama cerpen “Penalti Terakhir” yang saya kirimkan ke sayembara ini. Alasannya: 1) Saya kira Sekacil memiliki preferensi ke cerpen yang “nyastra”; dan 2) Di cerpen saya ada adegan self-harm yang cukup grafis, padahal di Q&A lomba, mereka bilang sebaiknya tidak ada adegan semacam itu.
(FYI, saya sudah mengirim cerpen saya sebelum mereka melakukan Q&A di IG Story. Jadi, waktu mereka menjawab pertanyaan soal self-harm itu, cerpen saya sudah telanjur dikirim. Tak ada kesempatan untuk meralatnya lagi.)
Makanya, saya nggak terlalu berekspektasi. Saya tahu cerpen “Penalti Terakhir” nggak jelek, tapi saya juga nggak tahu apakah cerpen semacam itulah yang dicari para juri dan panitia dari pihak Sekacil.
Waktu melihat pengumuman 7 Pemenang Harapan, jujur saya kecewa karena nggak menemukan nama saya di sana. Saat itu saya sama sekali nggak berpikir kalau cerpen “Penalti Terakhir” bakal masuk di postingan selanjutnya. Ketika membaca pengumuman 3 Pemenang Utama dan mendapati judul “Penalti Terakhir” beserta nama “Nicco Machi” sebagai Juara 2, saya benar-benar secara harfiah langsung menjerit.

Terus mata langsung basah. Huhuhu. Sooo happy. :’)
Cerpen “Penalti Terakhir” mengisahkan tentang Nunim, perempuan late 20s, yang dijodohkan orang tuanya dengan Sangga, seorang laki-laki yang tampak sempurna dari segala aspek. Namun, Nunim tidak ingin menerima Sangga begitu saja sebelum mengujinya. Nunim membawa Sangga menemui Esta, sahabat Nunim sejak kecil, di Panti Rehabilitasi Mental. Esta dulunya merupakan pemain sepak bola ternama sebelum jatuh ke jurang depresi akibat gagal mengeksekusi penalti terakhir yang sangat krusial bagi Indonesia.
Sejak awal saya sudah berniat untuk menulis cerita yang mengangkat tentang kesehatan mental seorang atlet. Meskipun tampak tangguh secara mental, kenyataannya atlet juga manusia biasa yang memiliki banyak sekali celah untuk hancur akibat beban tekanan tinggi yang harus dihadapi setiap hari. Belum lagi ekspektasi dari berbagai pihak yang harus selalu mereka pikul di pundak.
Sebagai orang yang aktif mengikuti berbagai berita, pertandingan, dan perkembangan beberapa cabang olahraga, saya ingin menulis cerita yang mengangkat kesehatan mental atlet sebagai bentuk kepedulian saya terhadap isu tersebut. Apalagi isu kesehatan mental atlet belum menjadi topik pembicaraan yang sering dibahas dalam diskusi tentang kesehatan mental, kendati perhatian orang terhadap isu kesehatan mental itu sendiri meningkat pesat dalam beberapa tahun belakangan ini.
Pertama kali saya aware dengan fakta bahwa kesehatan mental atlet sangat penting tetapi masih jarang didiskusikan adalah ketika membaca pernyataan Naomi Osaka (salah satu petenis favorit saya) pada bulan Juli 2021, saat dia mundur dari turnamen French Open demi kesehatan mentalnya. Pernyataannya itu benar-benar membuka mata saya mengenai isu kesehatan mental atlet, apalagi saat membaca aneka reaksi orang-orang terhadap pernyataan tersebut (ada yang memuji keberanian Naomi-san untuk speak up, ada pula tentunya yang malah menghujat).
Cerita Esta di cerpen ini adalah kisah fiksi yang terinspirasi dari kejadian riil pemain sepak bola yang gagal mengeksekusi penalti krusial di pertandingan penting. Kejadian yang secara khusus menginspirasi saya untuk menulis cerita ini adalah kegagalan John Terry mengeksekusi penalti untuk Chelsea FC pada final Liga Champions 2008, serta yang terbaru, kegagalan Bukayo Saka mengeksekusi penalti untuk Inggris di final Euro 2020 bulan Juli lalu. Saya membaca di suatu artikel bahwa Terry sempat terus-terusan mengalami mimpi buruk setelah gagal mengeksekusi penalti itu, reliving his failure again and again. Rasa bersalah dan penyesalannya jelas sangat besar. Sementara Saka, my boy, banyak sekali dihujat suporter Inggris yang kecewa karena “it (the cup)’s not coming home“. Mereka sampai membawa-bawa rasisme, mengingat Saka adalah pemain berkulit hitam. Saka sampai harus cuti sejenak dari media sosialnya.
Saya menggabungkan hal-hal yang dialami Terry dan Saka tersebut untuk membangun cerita Esta di cerpen ini. Walaupun difiksikan, saya tetap berusaha menulisnya serealistis mungkin agar perasaan itu tersampaikan kepada pembaca.
Timing saya menulis cerpen ini pas sekali ketika saya sedang maraton membaca Blue Lock, salah satu seri sport manga sepak bola. Saya bucin setengah mati sama Blue Lock karena memang seseru itu. (Saya rasa, sedikit-banyak Blue Lock juga mendorong saya untuk menulis cerita yang terkait dengan sepak bola.) Berkat Blue Lock, pikiran saya saat itu hampir sepenuhnya berada di dunia sepak bola sehingga saya bisa menulis hal-hal teknis terkait persepakbolaan di “Penalti Terakhir” tanpa kesulitan berarti. Hanya bagian depresi dan halusinasinya saja yang harus saya riset.
Hal unik lain yang membuat “Penalti Terakhir” memorable bagi saya, cerita ini menjadi percobaan pertama saya untuk memasukkan dua trope umum hubungan romansa yang belum pernah saya pakai di cerita-cerita saya sebelumnya, yaitu perjodohan dan teman masa kecil. Di cerpen ini, Nunim dijodohkan dengan Sangga agar Nunim bisa move on dari Esta, sahabatnya sejak kecil, yang dia cintai tapi perasaannya tak bersambut.
Trope “teman masa kecil” alias childhood friends sangatlah umum di sport manga (atau bahkan, di manga pada umumnya). Hubungan Nunim dan Esta sebagai teman masa kecil ini juga terinspirasi dari situ, tepatnya sport manga sepak bola lain yang saya sukai sejak SD: Captain Tsubasa. Hampir semua hubungan romansa di Captain Tsubasa berasal dari teman masa kecil (Tsubasa-Sanae, Matsuyama-Yoshiko, Misugi-Yayoi). Inspirasi lain terkait teman masa kecil ini saya ambil dari animanga sepak bola lain lagi, Shoot! (Toshi dan Kazumi), juga dari animanga basket Kuroko no Basket (Aomine dan Momoi).
Tantangan tersulit dalam menulis “Penalti Terakhir” adalah bagaimana memasukkan seluruh detail cerita — yang sebelumnya sudah saya visikan — ke dalam 10.000 karakter sesuai ketentuan lombanya. Seperti biasa, saya sudah nggak bisa menulis cerpen yang hanya mengisahkan satu kejadian dan satu waktu. Cerpen saya merentang panjang dan memuat banyak detail, bolak-balik antara masa kini dan masa lalu. Nah, meng-compress semua detail itu agar padat dan tercakup semua ke dalam 10.000 karakter (5-6 halaman) ternyata susah banget!

Maka pelajaran terbesar yang saya peroleh dari lomba ini adalah bagaimana saya belajar untuk menulis lebih efektif. Saya menyunting cerpen ini berkali-kali agar tetap di kisaran 10.000 karakter kendati ada penambahan ini dan itu terkait ceritanya. Selama mengedit itulah, saya banyak membuang aneka kalimat penegas yang sering kali saya pakai untuk menambah efek dramatis sebagaimana yang biasanya saya gunakan di novel. Kalimat-kalimat tersebut bukan masalah untuk cerita yang panjang, tapi untuk cerpen yang jumlah karakternya dibatasi ini, jadi masalah besar karena sangat memakan karakter. :)))) Makanya, harus dibuang-buangin. Untung hasilnya oke — semua detail bisa masuk dan cerpennya berhasil kelar di 10.000 karakter lebih sedikit.
Saat membaca hasil akhirnya, saya puas. Cerpen ini sesuai dengan yang sudah saya visikan: memiliki nuansa “kinda sad, but hopeful“. Cerita fiksi yang mengangkat tentang kesehatan mental cenderung kelam dan sering kali disturbing, tapi sejak awal, saya tidak berpikir untuk membuat cerita seperti itu. Saya ingin menulis cerita yang masih ada vibe positifnya dan sedikit menghangatkan hati, meskipun di dalamnya tetap ada tragedi ….
… sebab begitulah interpretasi saya terhadap tema “nuraga” lomba ini: nuraga, yang artinya simpati, berbagi rasa.
Cerpen ini nantinya bisa dibaca di buku Antologi Cerpen Nuraga yang akan terbit secara cetak. Semoga kelak cerpen ini bisa memberi manfaat bagi siapa pun yang membacanya — dan menyelipkan insight baru mengenai betapa pentingnya kesehatan mental seorang atlet.