Sejak dulu, cita-cita saya adalah menjadi penulis full-time. Bayangin betapa menyenangkannya hal itu — bisa menggunakan waktu 24 jam penuh untuk menulis, merangkai cerita dan imajinasi. Di depan laptop aja seharian, menuangkan kalimat demi kalimat ke Microsoft Word, menyaksikan karakter-karakter bergerak sesuai plot cerita.
Tahun 2021, harapan itu terkabul. Selepas lulus S2 pada akhir 2020, saya sempat apply kerja ke sana-sini, tapi belum ada yang diterima. Bersamaan dengan itu, pandemi sempat memburuk dengan varian Delta. Saya pun memutuskan untuk lanjut menulis dulu saja, menjalani hidup yang sejak dulu ingin saya lakukan.
Menyenangkankah?
Ya, dan tidak.
Ya, saya senang punya waktu fleksibel. Saya bahagia nggak perlu bangun pagi dan bertarung dengan kemacetan setiap hari. Saya juga nggak harus ketemu orang-orang toksik di kantor, nggak mesti pakai topeng setiap saat, nggak usah mengerjakan pekerjaan yang nggak ada habisnya. Saya punya kendali penuh terhadap apa yang ingin saya lakukan dan saya juga bisa membatasi siapa saja manusia yang ingin saya temui.
Tapi, menyenangkannya hanya sebatas itu.
Menjadi penulis (apalagi full-time) di zaman pandemi sangat sulit karena industri perbukuan sangat terdampak. Penerbit jadi berhati-hati dan amat selektif menerbitkan buku cetak. Fenomena umumnya, hanya penulis tertentu (baca: yang sudah punya nama besar) saja yang masih memperoleh kemewahan tersebut. Semuanya beralih ke e-book, yang meskipun sangat saya apresiasi sebagai pembaca, sejujurnya sangat berat untuk sisi diri saya sebagai penulis. Royalti dari e-book terbilang (sangat) kecil, apalagi bagi penulis seperti saya yang kebanyakan pembacanya adalah orang-orang dewasa hingga paruh baya yang lebih suka memegang buku fisik daripada digital. Menjual e-book susahnya bukan main kalau buat saya.
Dan karena royalti tidak bisa diharapkan — mana potongan pajaknya gede banget pula — sumber penghasilan tercepat hanyalah mengikuti lomba-lomba menulis yang memberikan hadiah berupa uang bagi para juaranya. Tentu saja itu juga tidak mudah — mana ada orang yang bisa menang terus? Menunggu bukunya terbit juga tidak sebentar, apalagi — untuk lomba cerpen — bukunya bukan atas nama pribadi. Bukunya antologi. Nama kita bersanding dengan nama banyak penulis hebat lainnya. Itu karya bersama, bukan karya pribadi. Padahal, seringnya pembaca cuma pengin baca karya pribadi penulis dalam bentuk cerita panjang (novel), bukan cerpen dalam kumcer.
Yah, intinya, selama setahun kemarin itu saya betul-betul financially struggling.
Lalu imbasnya, saya malah jadi susah menulis.
Saya tahu, idealnya saya seharusnya menjadi produktif menulis agar bisa mempunyai karya yang mungkin bisa jadi sumber penghasilan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Saya mengalami demotivasi yang cukup parah — pemikiran yang terus terlintas di kepala saya seringnya adalah, “Kalaupun aku nulis, nanti tulisan ini mau diapakan? Memangnya ada penerbit yang bakal nerima di tengah kondisi pandemi kayak gini? Terus kalau nggak terbit, mau diapain?”
Saya sadar betul, tulisan saya bukan tipe “pasaran”. Ide-ide cerita di kepala saya aneh-aneh semua dan … niche. Bukan selera orang kebanyakan, tapi bukan sastra juga. Susah dikategorikan. Barangkali … barangkali, kalau cerita-cerita yang saya tulis adalah yang saat ini laris di pasar, saya masih punya kans — di platform, mungkin ya. Tapi kan nggak begitu. Saya nggak bisa nulis cerita semacam itu. Romansa kipas-kipas? Drama rumah tangga? Nggak, nggak bisa. Bukan nggak bisa karena idealis atau karena nggak mau, melainkan nggak bisa karena memang bukan spesialisasi genre dan ciri khas saya.
Begitulah. Saya mengalami demotivasi dan akhirnya malah nggak nulis-nulis. Novel saya terbengkalai di progress 65%, nggak maju-maju. Terus saya cuma nulis cerpen-cerpen aja buat lomba. Alhamdulillah dari 8 lomba berhasil menang 4. Tapi ya itu — lomba kan nggak setiap saat ada, dan nggak selalu menang juga.
Akhirnya saya mengalami juga realitas di mana susah sekali mengejar mimpi kalau belum punya “pegangan” finansial yang stabil.
Dunia seni, sastra, olahraga, dan industri kreatif memang dunia yang keras karena tidak menjanjikan kestabilan. Pemasukan kadang ada, kadang nggak ada. Memanjatnya sangat jauh dan terjal untuk bisa sampai ke kata stabil atau bahkan berlimpah. Memang, ada orang yang berhasil sampai sana setelah memulainya dari bawah. Tapi jelas lebih banyak yang gagal, meski nggak kelihatan. Dan pandemi memperparah segalanya.
Pada akhirnya, saya sadar bahwa saya harus realistis. Saya nggak punya orang tua, jadi saya harus bisa survive sendiri tanpa merepotkan keluarga besar. Mereka pasti juga mengharapkan saya bisa mempunyai pekerjaan dan penghasilan rutin, apalagi setelah saya mengantongi ijazah S2. Dan saya juga nggak bisa terus-terusan utang sama adik. Selama saya kesulitan keuangan, saya dihidupi olehnya. Dia nggak keberatan, tapi kan saya malu kalau terus-terusan jadi freeloader.
Selain itu …menjadi penulis juga butuh biaya. Untuk riset, misalnya — ada tempat-tempat yang ingin saya kunjungi langsung, tapi nggak bisa karena saldo rekening nggak cukup. Biaya promo buku juga mahal. Untuk order print on demand butuh uang. Mau kirim buku ke bookstagrammer pun butuh uang untuk ongkos kirim. Mau bikin giveaway juga butuh uang. Self-published juga butuh uang. Request commission untuk materi promo juga butuh uang. Beli buku atau langganan Netflix untuk bahan riset studi karakter juga butuh uang. Mencetak merchandise atau semacamnya sebagai penyerta buku? Jangan ditanya. Jelas butuh uang juga. Yang banyak.
Semua itu nggak bisa saya lakukan kalau nggak punya uang sendiri.
Ya sudah. Mau nggak mau, saya sadar: nggak ada pilihan lain. Saya harus kerja kantoran — satu-satunya opsi penyuplai kestabilan tercepat — agar punya modal untuk membiayai segala aktivitas kepenulisan dan perbukuan saya.
Memang, kerja kantoran akan menyulitkan saya membagi waktu. Tapi saya pikir, selain uang gajinya, saya juga bakal dapat pengalaman baru dan kenalan sama orang-orang baru. Pastilah dari semua itu akan muncul ide-ide tulisan baru.
Jadiii, saya harus say goodbye dulu sama kehidupan sebagai penulis full-time. Saya menikmatinya, tapi ternyata itu tidak menghasilkan (baik uang maupun karya [novel] baru), jadi saya rasa sudah saatnya saya hijrah menapaki jalan lain. Tentu saya berdoa terus agar Tuhan masih memperkenankan saya mempertahankan karier sebagai penulis — saya juga nggak ingin melepasnya. Mungkin justru setelah bekerja, motivasi saya akhirnya kembali, seiring pengetahuan baru yang bertambah.
Saya harap, novel saya akhirnya bisa selesai. Dan pandemi akhirnya mereda sehingga perlahan dunia perbukuan bisa kembali bernapas lega.