Pustakawan-pustakawan Kesepian

Postingan ini tercipta sebagai hasil dari obrolan saya dengan teman saya, Nuru, waktu saya dan dia bertemu kangen di kota tempat kuliah, hari Sabtu lalu. Perlu dipahami dulu bahwa judul postingan ini tidak ada hubungannya dengan status hubungan, meski kami berdua sama-sama jomlo single.

Nuru bekerja sebagai pustakawan di salah satu sekolah dasar Islam. Dia curhat bahwa dirinya mengalami problem yang juga saya alami, yaitu “Yang paling berat (dari menjadi pustakawan) itu melawan kesendirian di perpustakaan.”

Hal ini berlaku di perpustakaan yang mengusung konsep “manajemen bakul bakso” (istilah dipinjam dari salah satu dosen saya), yang artinya pustakawan di perpustakaan itu hanya seorang diri mengelola perpustakaannya. Biasanya, pustakawan kesepian ini banyak ditemukan di perpustakaan sekolah dan perpustakaan khusus. Nggak semuanya, tentu. Tapi memang biasanya di dua jenis perpustakaan itu. Kalau di perpustakaan umum provinsi/kota dan perpustakaan perguruan tinggi masih ada temannya sesama pustakawan yang bisa diajak ngobrol dan paham soal perpustakaan. Ada juga sih pustakawan di perpustakaan perguruan tinggi yang sendirian, tapi sepertinya tidak sebanyak pustakawan perpustakaan sekolah dan perpustakaan khusus.

Kenapa pustakawan di perpustakaan sekolah dan perpustakaan khusus bisa sendirian? Karena:

  1. Yang namanya perpustakaan pasti punya ruangan terpisah sendiri. Tentu saja pustakawan mesti stand by di sana, kan? Jadinya agak terkucil, terasing dari rekan kerja di bagian lain. Memang sih kadang bisa keluar, tapi kalau tahu-tahu bos lewat kan nggak enak, nanti dikiranya gabut. Apalagi kalau rekan kerja di bagian lain itu lagi pada sibuk semua.
  2. Biasanya manajemen atas tidak merasa perlu menggaji lebih dari satu pustakawan untuk mengelola perpustakaan lembaganya, terutama kalau perpustakaannya kecil seperti perpustakaan sekolah dan perpustakaan khusus. Bagi mereka, satu saja sudah cukup. Pada nggak tahu aja sih kalau kerjaan pengolahan lagi banyak, bisa klenger.
  3. Jarang ada pemustaka yang ke perpustakaan. You know, lah. Kalau di perpustakaan sekolah, paling ramainya pas jam istirahat atau pulang sekolah. Kalaupun ada siswa yang bolos pelajaran dan menghabiskan waktu ke perpus, paling-paling hanya 1-2 orang. Dan nggak semua guru berinisiatif mengajak murid-muridnya belajar di perpustakaan. Sementara perpustakaan khusus, jelas kenapa sepinya. Karyawan punya pekerjaan masing-masing, jarang ada waktu ke perpustakaan. Apalagi kondisi pikiran sudah letih tersita oleh pekerjaan. Baca buku menjadi semacam prioritas terakhir, itu pun kalau masuk skala prioritas mereka. Untuk mencari bahan pekerjaan pun, mereka lebih memilih via internet kantor yang on kencang 24 jam daripada harus repot-repot memilih buku seperti mahasiswa lagi skripsi.

 

Nggak semua orang kuat berteman dengan kesendirian. Untungnya saya sudah bersahabat dengannya hampir seumur hidup saya, jadi saya bisa menghadapinya. Tetap saja, rasa berat itu ada. Saya merasakannya, sama seperti Nuru.

Saya jadi ingat. Waktu interview sama HRD dulu, beliau bilang begini ke saya, “Kamu orangnya komunikatif. Beneran mau kerja di perpustakaan? Nanti kamu mati gaya.” Waktu itu, karena sudah desperate nyari kerja, saya bilang aja, “Nggak apa-apa Pak, sesuai jurusan dulu.” Ternyata eh ternyata, memang sepi. šŸ˜€

Terus saya jadi mikir, apa mungkin ini sebabnya:

  1. Banyak orang enggan menjadi pustakawan; dan
  2. Pustakawan sering menjadi ledekan di cerita fiksi dengan penokohan sebagai perawan tua yang karena kesepian menjadi galak dan zadul?

 

Dan saya kini menyadari betapa benarnya kata-kata Pak Blasius Sudarsono,

“Perpustakaan itu jalan sepi, berliku, dan mendaki.”

4 Replies to “Pustakawan-pustakawan Kesepian”

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: