Inspirasi Teknik Menulis Unik dari Novel-novel Kontemporer

Hai blog. Lama nggak jumpa. Saya harap tahun ini saya bisa menulis lebih banyak di sini, mengingat–insyaa Allah–ada beberapa karya saya yang akan benar-benar terbit tahun ini. (Tahun lalu juga ada, dan sudah saya post sebagian ceritanya di Instagram. Kapan-kapan saya tulis juga di sini.)

Pada postingan kali ini saya mau cerita-cerita soal novel-novel yang membantu saya mempelajari teknik menulis. Oya, tulisan ini cuma hasil pikiran, pengamatan, dan interpretasi saya sendiri lho ya… bukan ilmu baku yang bisa dijadikan patokan resmi. Novel-novel yang sudah saya baca juga masih sangat sangat sangat terbatas jumlahnya. Tapi monggo kalau ada manfaat yang bisa diambil dari tulisan ini–saya akan senang sekali. ^^

***

Setiap kali mau menulis cerita (panjang) baru, setelah menemukan ide, menetapkan karakter, dan membuat garis besar plot, hal berikutnya yang saya lakukan adalah menentukan teknik apa yang akan saya pakai untuk mengeksekusi cerita tersebut. Teknik-teknik itu kebanyakan saya pelajari secara otodidak dari novel-novel yang saya baca. Itulah kenapa saya selalu menulis review atau rambling-an di Goodreads setiap menyelesaikan membaca suatu buku–soalnya semua itu akan menjadi katalog pribadi saya untuk memilih buku mana yang akan saya jadikan inspirasi menulis dari segi teknis. Lagi pula, saya ini sangat pelupa, jadi kalau nggak punya katalog pribadi tertulis pasti saya bakal lupa buku-buku apa aja yang sudah saya baca.

Oya, teknik yang saya maksud di sini adalah teknik-teknik yang “unik” lho–bukan yang basic. Selain unik, teknik-teknik tersebut juga umumnya kontemporer karena saya jarang baca buku sastra klasik. Berikut adalah beberapa contoh novel yang teknik penulisannya saya pelajari agar bisa saya gunakan di novel saya sendiri.

 

1. Teknik dua POV dari POV orang pertama

Gaya penulisan ini lumayan sering ditemui pada zaman sekarang, terutama untuk cerita romansa. Dua POV maksudnya dua sudut pandang tokoh utamanya (sebagai orang pertama), yang biasanya cewek dan cowok (kecuali fiksi LGBTQ ya), ditulis selang-seling. Sebenarnya teknik ini nggak harus untuk cerita romansa aja sih, meskipun ya biasanya teknik ini untuk cerita romansa (atau paling tidak, ada romansanya). Walaupun kedengarannya “mudah”, menurut saya teknik ini lumayan tricky karena satu hal: “suara” si tokoh cowok dan tokoh cewek HARUS bisa terasa beda. Soalnya teknik ini kan ditulis dari POV orang pertama, ya… kalau “suara”-nya mirip, nanti orang bingung–ini lagi baca POV siapa? Apalagi kalau si kedua tokoh lagi berada di situasi dan tempat yang sama. Beberapa kali saya menemukan novel yang menggunakan teknik ini yang bikin saya sempat lupa, lagi baca POV siapa sehingga harus membalik ulang ke halaman sebelumnya untuk melihat judul bab (yang biasanya nama si tokoh yang lagi cerita). Menurut saya, jika terjadi demikian, itu adalah kegagalan terbesar dari penggunaan teknik dua POV.

Satu novel dengan teknik ini yang paling berkesan buat saya adalah trilogi Legend-nya Marie Lu. Berhubung saya menerjemahkan trilogi itu, saya belajar banyak sekali dari cara penulisannya. Menurut saya suara kedua tokoh utamanya berhasil dieksekusi dengan baik sekali, dan kita nggak pernah lupa, ini lagi siapa yang cerita (well, sebenarnya ada faktor “beda font” juga sih di situ, jadi nggak mungkin lupa). Selain trilogi Legend, apalagi ya… ada beberapa yang lumayan (baca: nggak bikin lupa), tapi nggak seberkesan trilogi Legend. Kalau novel dari dua POV orang pertama yang tidak selang-seling alias dibuat dua bagian terpisah/berurutan, saya suka Laut Bercerita-nya Leila S. Chudori dan Fly to the Sky-nya Nina Ardianti dan Moemoe Rizal.

Teknik dua POV dari orang pertama ini saya pakai di cerita saya berjudul Rapport yang saya publikasikan di Storial.co.

 

2. Teknik multi-POV dari POV orang pertama

Kalau teknik sebelumnya cuma dua POV, teknik yang ini lebih dari dua POV. Bayangkan, pasti dobel pusingnya. :))) Menyelami isi kepala dua karakter dan mesti bernarasi dari “suara” mereka aja udah susah, apalagi lebih? Dan semuanya harus dibuat berkelindan satu sama lain agar ceritanya bisa jalan, alurnya bisa maju. Menurut saya penulis yang bisa mengeksekusi multi-POV orang pertama dengan “suara” yang beda di setiap bagiannya dan membuat ceritanya maju dan intertwined dengan baik adalah penulis yang sangat hebat.

Saya punya banyak contoh novel dengan teknik ini yang bikin saya terkagum-kagum: My Sister’s Keeper-nya Jodi Picoult, Wonder-nya R. J. Palacio, Carry On, Simon-nya Rainbow Rowell, Salt to the Sea-nya Ruta Sepetys, One of Us is Lying-nya Karen McManus, Because of Mr. Terupt-nya Rob Buyea, Girls in the Dark-nya Akiyoshi Rikako, Pulang-nya Leila S. Chudori, Antologi Rasa-nya Ika Natassa, Dokumen Delapan-nya Probo Nella. Saya sendiri pernah nyoba nulis dengan teknik ini, tapi tulisan itu bagi saya kurang bagus jadi nggak pernah saya publikasikan. :))))

 

3. Teknik nonlinear atau lebih dari satu timeline

Ini juga salah satu teknik yang sangat tricky. Teknik ini bukan sekadar “main flashback“, melainkan menjalankan dua alur cerita–tapi saling berkaitan–pada dua garis waktu yang berbeda (biasanya masa lalu dan masa kini). Jadi harus membuat dua alur terpisah yang keduanya bisa intertwined dengan rapi. “Masa lalu” dan “masa kini”-nya nggak harus jauh, tapi tantangannya bukan itu–kata kuncinya ada di kata: rapi. Sebagaimana teknik nomor 1, penulisan dua garis waktu ini biasanya selang-seling.

Beberapa novel yang menggunakan teknik ini di antaranya The Language of Flowers karya Vanessa Diffenbaugh, Rahasia Salinem karya Brilliant Yotenega dan Wisnu Suryaning Adji, The Girl You Left Behind karya Jojo Moyes, Pandemonium karya Lauren Oliver, serta novel Storial berjudul Ampersand karya Octa dan Berikan Tanda Silang karya triskaidekaman. Saya sendiri menggunakan teknik ini di novel debut saya, A Place You Belong. Tentu saja penggunaan saya sangat sederhana, nggak “dewa” kayak contoh-contoh di atas. :)))

 

4. Teknik unreliable narrator

Ini adalah teknik yang mana, sesuai namanya, narator ceritanya (biasanya POV orang pertama, walau nggak selalu) ternyata nggak seperti yang kita duga. Istilah lainnya, si narator ini “menipu” pembaca dengan lihainya, bikin kita terkecoh bahwa apa yang kita saksikan dari awal ternyata bukan seperti itu kenyataannya. Teknik ini menurut saya juga rumit dan saya pengin banget suatu hari nanti bisa menulis menggunakan teknik ini. Kebayang nggak sih asyiknya nipu-nipu pembaca. :))))

Beberapa novel dengan teknik ini yang bikin saya tertipu oleh pribadi dan penceritaan si narator di antaranya (awas berpotensi spoiler): We Have Always Lived in a Castle karya Shirley Jackson, The Murder of Roger Ackroyd karya Agatha Christie, Gone Girl karya Gillian Flynn, Kill Me If You Can karya James Patterson dan Marshall Karp, Rahasia Sarah karya Eve Shi, The Hole-nya Pyun Hye-young, It’s My Solitaire-nya Maya Lestari Gf.

 

5. Teknik multi-POV dari POV orang ketiga

Teknik ini mirip dengan teknik nomor 2, bedanya, POV yang diambil adalah POV orang ketiga. Tingkat kesulitannya lumayan tinggi juga karena harus menggerakkan kehidupan banyak karakter pada saat bersamaan agar ceritanya jalan. Bisa dibilang ini lebih kayak skenario film atau serial TV ya… yang mana penulisnya harus pintar-pintar menempatkan urutan adegan berdasarkan POV orang ketiga tokoh tertentu untuk bisa menghasilkan plot yang rapi. Novel-novel dengan teknik ini yang bikin jawdropped di antaranya IT-nya Stephen King, The Casual Vacancy-nya J. K. Rowling, The Sinner-nya Petra Hammesfahr, The Storied Life of A.J. Fikry-nya Gabrielle Zevin. Saya pernah mencoba menulis dengan teknik ini… dan hasilnya, ya, kita tunggu saja hehe.

 

6. Teknik mislead atau hard plot-twist

Sebagai pecinta novel detektif sejak remaja, ini teknik yang selalu saya agung-agungkan. Saya suka sekali novel-novel yang piawai membelokkan pikiran pembacanya, memandu pembacanya ke arah yang salah, dan pada akhirnya menjatuhkan bom dengan plot twist yang sangat tak terduga. Beberapa novel dengan unpredictable plot twist yang paling saya sukai adalah Dunia Sophie-nya Jostein Gaarder, Hercule Poirot’s Christmas-nya Agatha Christie, Holy Mother-nya Akiyoshi Rikako, seluruh serial Darren Shan Saga-nya Darren Shan, The Sinner-nya Petra Hammesfahr, The Orange Girl-nya Jostein Gaarder, Petualangan Ajaib Bibbi Bokken-nya Jostein Gaarder, The Storied Life of A. J. Fikry-nya Gabrielle Zevin, Angels & Demons-nya Dan Brown, dan bahkan Harry Potter. Saya suka bagaimana J. K. Rowling me-mislead kita semua akan Snape. :))) Saya pernah mencoba teknik ini, tapi merasa masih harus banyak belajar.

 

7. Teknik epistolari

Teknik ini adalah menulis novel dalam bentuk surat-menyurat (atau e-mail, kalau zaman sekarang). Saya sebetulnya kurang suka teknik ini dan belum pernah mencoba menggunakannya, tapi kalau dikemas dengan baik, sebenarnya teknik ini bisa menjadi menarik–apalagi sekarang sudah banyak bentuk variasi “surat” yang bisa digunakan. Kebetulan hampir semua–secara harfiah–novel Jostein Gaarder (salah satu penulis favorit saya) berbentuk epistolari, dan dia bisa menuliskannya dengan baik. Satu novel epistolari lain yang saya sukai adalah Sylvia’s Letters-nya Miranda Malonka–yang betul-betul isinya “surat” dalam berbagai bentuk.

 

8. Teknik campuran antara POV orang pertama dan ketiga

Sebagaimana namanya, teknik ini menggabungkan POV antara orang pertama dan orang ketiga. Saat ini sepertinya teknik ini juga lumayan sering digunakan di berbagai novel, tapi saya ingat, pertama kali saya mengetahui bahwa, “Oh, ada ya cara nulis novel kayak gini,” tuh waktu baca The ABC Murder-nya Agatha Christie. Setelah itu saya kadang-kadang menemukan teknik ini di novel lokal maupun luar. Sejujurnya saya juga kurang suka teknik ini karena menurut saya agak… kurang rapi. Bagi saya pribadi, kurang enak aja rasanya membaca dengan POV orang pertama, tetahu di bab berikutnya ganti jadi POV orang ketiga… jadi untuk saat ini saya nggak berencana menggunakan teknik ini. Tapi buku Akiyoshi Rikako terakhir yang saya baca, Memory of Glass, menggunakan teknik ini dengan eksekusi yang bagus. Memang penulisnya harus mumpuni agar bisa mengeksekusi teknik ini dengan baik.

 

9. Teknik dewa

Ini adalah sebutan bagi novel-novel yang saya temukan luar biasa bagusnya, menggunakan gabungan dari teknik-teknik di atas, ditambah riset yang supermendalam, dan pada akhirnya saya nggak paham lagi kok si penulis itu bisa bikin novel sebagus ini. Saya yakin banyak karya klasik yang masuk kategori ini–karya-karya yang mungkin nggak akan pernah saya baca (yup, sebagaimana yang saya katakan di atas, saya memang kurang bersahabat dengan novel klasik). Tapi untuk novel kontemporer, novel yang menurut saya paling “dewa” dari segala teknik penulisan adalah The Book Thief-nya Markus Zusak (buku terbaik sepanjang masa) dan Holy Mother-nya Akiyoshi Rikako. Lima bintang di Goodreads nggak cukup bagi saya untuk menggambarkan seberapa dalam kecintaan saya pada kedua novel itu, yang bikin book hangover berhari-hari dan sempat bikin saya nggak pengin nulis cerita lagi karena merasa minder-seminder-mindernya.

 

***

Baiklah, sekian dulu rambling-an saya untuk novel-novel dengan teknik menulis yang bisa dipelajari. Mungkin Anda bisa mencari dan membaca novel-novel tersebut. Atau mungkin Anda punya teknik lain yang juga nggak kalah unik dan menarik?

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: